Oleh Edy Supriatna Sjafei Makkah (ANTARA News) - Tatkala seseorang hendak bertolak ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, maka sudah menjadi tradisi bagi warga Muslim di berbagai daerah menyelenggarakan upacara syukuran/ratiban, serta bisa dalam bentuk tahlilan yang pada dasarnya meminta didoakan, agar selamat dan memperolah haji mabrur. Bagi warga yang memperoleh rezeki lebih banyak dan mampu, biasanya juga upacara itu diiringi menghadirkan seorang ulama. Ulama itu dimintai wejangannya. Bahkan, pencerahan dan pengarahan bagi tuan rumah yang hendak pergi haji. Tentu, dengan berbagai hadis dan dalil tentang berhaji, sang ulama yang dihadirkan tak akan segan-segan menyampaikan pesannya. Nasihatnya, di tanah suci Makkah harus menjaga prilaku dan sopan. Di tanah suci itu pula jamaah menjaga emosi, perkuat kesabaran, karena di tanah haram akan ada saja cobaan. Terlebih lagi, perilaku orang dari berbagai bangsa akan nampak. Dahulukan ibadah hajinya, yang wajib didahulukan. Jangan banyak belanja. Pikiran harus fokus kepada ibadah, karena tak semua orang punya kesempatan seperti itu. Dan, jaga mulut sehingga dapat dijauhkan dari pertengkaran. Perbanyak zikir daripada bicara yang tak pantas. Masih banyak lagi petatah, petitih yang mengandung nasihat. Semuanya baik, tinggal orangnya, mampu atau tidak dalam melaksanakannya di tanah suci itu. Nasihat ulama seperti itu memang harus dimasukkan ke dalam hati. Dihayati dan diamalkan. Kata dan perbuatan harus selaras. Itu bukan seperti nasehat dari seorang ayah atau ibu kepada anaknya, yang kadang di dengar. Kadang pula bagai "masuk kuping kanan, keluar dari kuping kiri." Mang Iip Kuswari dari Jawa Barat, misalnya, mengaku tersesat ketika keluar dari Masjidil Haram, seusai Shalat Subuh. Semula, ia merasa yakin, tahu di mana pintu keluar dan berjalan kaki ke halaman masjid. Nyatanya, ia nyasar. Hal itu bisa terjadi karena ia punya rasa ria. "Allah, yang Maha Besar, dalam sekejap membuktikan bahwa ternyata saya sombong," akunya. Menjaga tingkah laku di tanah suci adalah penting. Namun, bukan berarti dilarang mengemukakan pendapat terhadap permasalahan yang dihadapi. Sikap menerima dan pasrah dalam konteks hubungan "Habbluminallah" sangat dibutuhkan. Jika menyangkut hajat dalam kaitan "Habbluminanas", maka hubungan antar-manusia dan tugas hendaklah dibicarakan secara musyawarah. Yang menyangkut habungan antar-manusia itu, masih dalam keberadaan di tanah suci, misalnya terkait persoalan pemondokan dan katering yang harus dibahas secara musyawarah. Jemaah Aceh, Medan menyampaikan ketidakpuasannya atas pemondokan haji di Mekkah, ditempuh secara musyawarah. Toh, akhirnya selesai. Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) pun merasa lega bahwa ketidakpuasan itu setelah dicari akar permasalahannya tidak berdiri sendiri. Namun jika ada saling pengertian, masalahnya bisa dicarikan solusi. Selesai, kendati tak memuaskan semua pihak. Persoalan katering yang selama ini mengganjal, setelah anggota Komisi VIII DPR RI datang dan bertemu dengan muasasah, kini diperoleh kejelasan. "Kini, sudah jelas. Muasasah memberi jaminan, apa pun yang terjadi di lapangan," kata Said Abdullah, anggota Komisi VIII itu, usai pertemuan di Mekkah. Sayangnya, mungkin baru sekali ini -- musim haji 1428 Hijriyah atau 2007 Masehi -- ada larangan bagi panitia haji bicara atau mengemukakan pendapatnya dalam hal tertentu. Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep ajaran Islam, terlebih larangan itu menyangkut hubungan antarmanusia dan ibadah serta kepentingan jemaah haji Indonesia. "Dan, kejadiannya pun di tanah suci pula," kata seorang petugas ibadah haji (PPIH). Larangan itu muncul melalui surat edaran berupa instruksi, yang isinya dilarang para dokter memberi keterangan kepada wartawan. Surat dengan nomor 18/TUH/KES/PPIH/XI/2007 tanggal 30 November 2007, ditandatangani Wakil Ketua Pelayanan Kesehatan (Waka Yankes)/Ketua Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) DR dr Barita Sitompul SpJp. Konsekuensi dari surat itu, di lapangan yang terjadi adalah, para dokter melakukan gerakan tutup mulut, utamanya kepada wartawan yang dilibatkan dalam Media Center Haji (MCH) di Makkah, Jeddah dan Madinah. Ketika wartawan mencari informasi orang sakit, meninggal, menjadi ragu. Pasalnya, antara dokter dan wartawan nyatanya sudah terjadi saling tak percaya. Koordinaror MCH Jeddah, Rusli Haudy, menyayangkan adanya surat edaran tersebut. Ini jelas membungkem pers, karena ara seperti itu sudah tak lazim lagi, apa lagi di era reformasi. Terkait dengan surat itu, Ketua PPIH di Arab Saudi, DR. M. Nur Samad Kamba, mengaku belum tahu surat edaran tersebut, yang melarang dokter memberi penjelasan kepada pers. "Saya belum tahu adanya surat edaran itu," katanya, di Madinah, Senin (3/12). Ia menegaskan, tak dibenarkan petugas di bawah PPIH tidak memberi keterangan dan informasi kepada wartawan, karena hal ini sangat dibutuhkan bagi masyarakat di tanah air dan petugas haji itu sendiri di tanah suci. Apa latarbelakang munculnya surat edaran berisi larangan petugas TKHI bicara kepada pers? Sejumlah pertanyaan muncul di kalangan wartawan yang tergabung dalam MCH di tanah suci. Ada yang berspekulasi, agar keresahan di kalangan para petugas kesehatan tak sampai terdengar ke Jakarta. Ada juga berargumentasi karena wartawan memutarbalik fakta, memelintir peristiwa. Sejumlah pertanyaan pula yang mengemuka dalam diskusi kecil di MCH yang tak mampu menjawab alasan pemunculan surat edaran tersebut. Namun, jawaban yang paling mendekati adalah keterkaitan kejengkelan para dokter yang hingga akhir pekan ini belum juga muncul uang honor selama bertugas di tanah suci. Dr. Barita pun pernah terlibat diskusi hangat dengan petugas TKHI di halaman Daerah Kerja Daker) Makkah. Para dokter mengemukakan alasan kegelisahannya selama bertugas. Dengan gaya intelektualnya, mereka mengemukakan argumentasi, yang kesemuanya dapat dipatahkan. Ujungnya, pembayaran honor ditunda. Namun, ia menjamin seluruh hak para Tenaga Kerja Haji Indonesia (TKHI) tetap akan diterima penuh seperti yang diterima petugas PPIH dari Departemen Agama (Depag). Persoalannya, kini dokter bekerja di medan tempur -- melayani jemaah haji -- bagai tak punya amunisi. Tak punya dan tak pegang uang di negeri orang. Lebih fatal lagi, mereka dilarang bicara dan mengemukakan pendapatnya di tanah suci. Tegasnya, hal itu tertuang dalam surat edaran. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007