Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR, Gayus Lumbuun, mempertanyakan mekanisme pemilihan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011 yang harus melalui putaran kedua. Usai pemilihan lima calon pimpinan KPK di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, Gayus mengatakan pemilihan dengan putaran kedua itu tidak lazim dilakukan dan bahkan mengatakan hal itu merupakan skenario Komisi III DPR. "Itu skenario namanya. Kalau mau murni, seharusnya yang meraih suara terbanyak itu yang menjadi Ketua KPK, tidak harus pakai putaran kedua," ujarnya. Pada pemilihan Ketua KPK periode pertama, Gayus menjelaskan, Taufiequrachman Ruki langsung terpilih sebagai ketua karena meraih suara terbanyak dalam satu kali putaran pemungutan suara. "Ini tidak lazim. Saya mempertanyakan mengapa harus pakai dua kali putaran," ujarnya. Antasari Azhar, calon yang paling banyak mendapat penolakan dari publik, terpilih sebagai Ketua KPK periode 2007-2011 dengan 41 suara pada putaran kedua. Pada pemungutan suara tahap pertama, KPK memilih lima pimpinan KPK dari sepuluh calon yang ada. Kelima pimpinan itu adalah Chandra M. Hamzah yang mendapat 44 suara, Antasari Azhar yang mendapat 37 suara, Bibit Samad Rianto yang mendapat 30 suara, Haryono yang mendapat 30 suara juga, serta M Jasin yang mendapat 28 suara. Chandra berprofesi sebagai advokat, Antasari adalah Direktur Penuntutan pada Jaksa Muda Pidana Umum Kejagung, Bibit pensiunan polisi yang kini Rektor Universitas Bhayangkara, Haryono dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta M Jasin adalah Direktur Litbang KPK. Dua nama teratas dari lima peraih suara terbanyak dipilih lagi melalui pemungutan suara untuk jabatan Ketua KPK. Namun, Chandra yang meraih suara terbanyak dengan 44 suara, pada putaran kedua tidak terpilih sebagai Ketua KPK karena suaranya menyusut menjadi hanya delapan suara. "Mengapa yang terbanyak suaranya pada putaran kedua jadi menyusut? Ini menjadi pertanyaan. Ada skenario apa?" ujar Gayus. Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga menyatakan, pimpinan KPK yang terpilih menggambarkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia empat tahun mendatang tidak akan membaik. "Kalau tidak membaik, kita bubarkan saja KPK," ujarnya. Pakar pidana dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, sepakat dengan Gayus. Sedangkan, Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, harapan Indonesia untuk memberantas korupsi selama empat tahun ke depan harus ditunda. "Ini memang hasil pilihan politis. Jadi, kita bisa melihat kemauan politis DPR untuk memberantas korupsi seperti apa," ujarnya. Antasari adalah calon yang paling kontroversial di antara sepuluh calon pimpinan KPK. Pengaduan masyarakat tentang perilaku Antasari banyak mengalir ke Komisi III dan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Di antaranya adalah tidak mengeksekusi anggota DPRD Sumatera Barat yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) saat menjabat Kejati Sumatera Barat. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007