Jakarta (ANTARA News) - Pengusaha Anthony Salim, Kamis pagi, memenuhi panggilan tim penyidik bagian Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk diperiksa dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), M. Salim, membenarkan kedatangan Anthony Salim. "Sekarang sedang diperiksa," kata M. Salim. M. Salim tidak bisa memastikan jam berapa pengusaha itu tiba. Namun demikian, dia memastikan konglomerat tersebut tiba sebelum pukul 8.00 WIB. Berdasarkan informasi yang dihimpun ANTARA, Anthony Salim tiba sebelum pukul 07.00 WIB. Sejumlah wartawan yang menunggu sejak pukul 07.00 WIB tidak melihat kedatangan Anthony Salim, anak Sudono Salim . Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menyelidiki dugaan penyimpangan penyerahan aset obligor atau pemegang saham pengendali (PSP) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam dua kasus pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Dalam kasus dugaan penyimpangan inilah diduga banyak sekali terjadi kerugian negara yang jumlahnya bahkan barangkali ratusan triliun rupiah ," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman di Jakarta (18/7), ketika masih menjabat Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Sesjampidsus). Dua kasus tersebut adalah penyerahan aset obligor atau PSP atas kucuran BLBI pada 1997 dan 1998. Kemas merinci pada 1998 terjadi kucuran BLBI sebesar Rp35 triliun. Dalam rangka pelaksanaan Master Settlement for Acquisition Agreement (MSAA) pada September 1998, menurut Kemas, jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) atas kucuran tersebut meningkat menjadi Rp52,7 triliun. "Sayangnya perhitungan itu tidak dilakukan oleh auditor independen," katanya. Kemudian BPPN menindaklanjuti perhitungan itu dengan bantuan auditor independen dengan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu Rp52,6 triliun. Dengan begitu, kata Kemas, maka obligor diperkirakan akan dapat menyerahkan aset kepada negara. Namun demikian, pada 2006 perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan aset yang diserahkan kepada negara hanya Rp19 triliun, lebih sedikit dari nilai awal kucuran BLBI dan JKPS. Kemudian kasus yang kedua terjadi setelah terjadi kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997. Berdasar audit BPK, dana BLBI membengkak menjadi Rp49,189 triliun, dengan JKPS sebesar Rp28,408 triliun setelah dikurangi aset bank penerima BLBI sebesar Rp18,850 triliun. Kemas mengatakan penyerahan aset senilai Rp28,408 triliun itu akan dibayar tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,495 triliun. Namun demikian, setelah dilakukan perhitungan oleh auditor dari Pricewaterhouse Cooper pada 2000, nilai aset hanya Rp1,441 triliun. Nilai aset itu mengalami kenaikan menjadi Rp1,819 triliun setelah dijual dan masih terdapat sisa aset sebesar Rp640 miliar. Dengan begitu, katanya, uang yang diterima BPPN hanya Rp3,459 triliun yang terdiri dari pembayaran tunai (Rp1 triliun), penjualan aset (Rp1,819 triliun), dan sisa aset (Rp640 miliar). (*)

Copyright © ANTARA 2007