Jakarta (ANTARA News) - Departemen Luar Negeri (Deplu) RI menghormati keputusan Australia yang pada Jumat menyatakan akan segera memulangkan 16 "manusia perahu" asal Indonesia di Pulau Christmas, Australia Barat. "Saya baru tahu di media, intinya hal itu merupakan keputusan pemerintah Australia yang harus kita hormati," kata Juru Bicara Deplu, Kristiarto Soeryo Legowo, kepada ANTARA News di Jakarta, Jumat malam. Dia mengatakan Australia telah memberikan penilaian yang obyektif terhadap situasi yang dianggap memotivasi keberadaan orang-orang tersebut di perairan Australia. Di Australia, Menteri Imigrasi dan Kewarganegaraan, Senator Chris Evans, Jumat, mengatakan pemerintahnya akan segera memulangkan 16 orang yang 10 di antaranya adalah anak-anak. "Kementerian saya secara hati-hati menelusuri alasan kelompok ini datang ke Australia," kata Senator Evans tanpa menjelaskan waktu pasti pemulangan mereka. Sebelum ditahan di Pulau Christmas, 16 orang Indonesia asal Pulau Rote, NTT itu diselamatkan kapal patroli Australia, HMAS Ararat dan HMAS Tarakan saat perahu kayu bermotor mereka tenggelam sekitar 650 kilometer barat Darwin, Northern Territory pada 20 November. Senator Evans mengatakan bahwa menurut informasi yang tersedia, orang-orang tersebut tidak menyampaikan masalah-masalah yang dapat melibatkan kewajiban perlindungan Australia di bawah Konvensi tentang Pengungsi. "(pemulangan) Itu menepis berbagai spekulasi tentang permintaan suaka dan sebagainya, karena sesungguhnya mereka tidak mengalami ancaman apapun," kata Kristiarto. Lebih lanjut Jubir Deplu mengatakan bahwa perwakilan RI terkait akan memfasilitasi pemulangan warga Indonesia tersebut dalam bentuk kepengurusan dokumen perjalanan. "Peristiwanya ada di wilayah kerja Konsulat Jenderal RI di Perth. Saat kembali ke Indonesia, mereka butuh dokumen yang valid yaitu Surat Perjalanan Laksana Paspor," kata Jubir Deplu. Ketika ditanya apakah warga Indonesia tersebut akan menjalani pemeriksaan setelah kembali, Kristiarto mengatakan ada instansi terkait yang menangani mereka, misalnya untuk masuk kembali ke Indonesia tentu terdapat proses imigrasi. Mengenai antisipasi pemerintah RI untuk menghindari terulangnya kasus serupa, Kristiarto mengatakan pemerintah RI memiliki kerja sama yang baik dengan pemerintah Australia. "Ini adalah salah satu solusi penilaian independen mereka, ini keputusan independen mereka," katanya. Terkait dengan kasus "manusia perahu" tersebut, Eric Abetz, menteri perikanan Australia era pemerintahan perdana menteri John Howard, menolak membantu keluarga-keluarga nelayan Indonesia yang terkena dampak ekonomis akibat ditangkap ketika mencuri ikan di perairan utara negara itu. Penolakan itu disampaikan Abetz menyusul gencarnya laporan media setempat yang menyebut 16 orang itu adalah keluarga nelayan kecil. Abetz menegaskan bukan urusannya jika para nelayan Indonesia itu tidak lagi bisa menjarah sumberdaya perikanan Australia. Berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Pemerintah RI dan Australia pada November 1974, yang kemudian dikenal dengan sebutan MoU Box 1974, Australia tetap mengakui hak para nelayan tradisional Indonesia yang telah berabad-abad lampau mencari penghidupan dari sumber-sumber bahari di sepanjang utara pantai barat dan di sekitar gugusan pulau karang negara itu. Australia tetap mengizinkan nelayan tradisional Indonesia berlabuh guna mengambil air tawar dan mencari ikan di pulau-pulau yang telah disepakati kedua negara dalam perjanjian tersebut. Hanya saja Australia kemudian menetapkan kawasan tersebut sebagai taman nasional. Berdasarkan nota kesepahaman (MoU) 1974 itu, kawasan yang disepakati Australia dan Indonesia dapat dimanfaatkan para nelayan tradisional Indonesia adalah kepulauan karang Scott, Seringapatam, Pulau Browse, kepulauan karang Ashmore, Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007