Oleh Maryati Jakarta (ANTARA News) - Bagi Prof. Wardiman Djojonegoro, tidak ada kenangan sedih yang ditinggalkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof. Fuad Hassan, yang berpulang ke hadirat-Nya pada Jumat. Di halaman rumah duka yang berada di Jalan Brawijaya X Nomor 2 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ia menuturkan kenangan manisnya tentang Prof. Fuad, termasuk tentang kecintaan sahabatnya itu terhadap kuda. "Ia senang sekali berkuda, biasanya dia berkuda di Pamulang. Dia punya 'ranch' yang bagus di sana," kata Mendikbud periode 1993-1998 itu. Menurut Wardiman, Prof. Fuad sering mengajaknya berkuda bersama namun dia tidak pernah bisa mengikuti ajakannya. "Saya selalu bilang 'nggak' bisa, maklum ada masalah dengan ini," katanya sambil memegang punggungnya. Wardiman pun sering mengajak Fuad joging bersama. "Kalau saya ajak, dia malah bilang 'saya juga joging kok, tapi di punggung kuda'," katanya seraya tersenyum mengenang sahabatnya itu. Wardiman menjelaskan bahwa dia sangat mengagumi figur Fuad sebagai ilmuwan yang mumpuni di bidang psikologi dan filsafat. Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center itu juga memberikan penghargaan kepada Fuad karena berhasil memperjuangkan terbitnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. "Dan, ketika saya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1993, dia meminta saya untuk melanjutkan apa yang telah dia rintis," katanya. Wardiman mengatakan, empat hal pokok yang diperjuangkan Fuad Hassan di bidang pendidikan adalah pemerataan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia, peningkatan mutu dan efisiensi. "Itu adalah dasar-dasar penting dalam pendidikan, jadi dengan senang hati saya melanjutkan. Bila pendidikan diibaratkan sebagai kereta, Pak Fuad adalah gerbong keempat dan saya yang kelima," ujarnya. Sebagaimana Wardiman, Menteri Pertahanan (Menhan), Juwono Sudarsono, juga memiliki kesan tersendiri tentang pria yang lahir di Semarang, Jawa Tengah, 26 Juni 1929 itu. Juwono, yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional pada masa pemerintahan Presiden BJ habibie, mengenal Fuad sejak tahun 1962. "Beliau dosen saya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia," katanya. Menurut Juwono, Prof. Fuad adalah pemimpin yang kharismatik dan pemikir psikologi, serta filsafat yang mumpuni. "Saya menyesal tidak sempat menjenguk ketika dirawat di rumah sakit," katanya. Dan, para sahabat lain yang datang ke rumah duka malam itu, antara lain Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, Menteri Pemuda dan Olah Raga (Mennegpora), Adhiyaksa Dault, dan mantan Wapres, Try Soetrisno, pun pastinya memiliki kenangan tersendiri tentang Fuad Hassan. Begitu pula dengan mereka yang mengirimkan karangan bunga, seperti mantan Presiden Soeharto, mantan Presiden BJ Habibie, Ketua DPR RI Agung Laksono, Akbar Tanjung, Dr.Syahrir, dan Sulasikin Murpratomo. Fuad dan Biola Fuad Hassan, yang meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada Jumat sore karena kanker, tak hanya hobi berkuda, karena ia juga sangat mahir bermain biola. Darah seni sang ayah, Ahmad Hassan yang seorang pemain mandolin, rupanya diwariskan pada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Karya Pembangunan IV dan V (1985-1993) itu. Semasa kecil, anak kedua dari empat bersaudara yang menyelesaikan pendidikan SD sampai SMA di Solo itu, sering bolos sekolah untuk bermain biola. Dia sangat menyukai musik sampai-sampai pada 1950 sengaja berangkat ke Jakarta untuk mengikuti tes masuk sekolah musik di Roma, Italia. Lantaran pengaruh teman dan fakta yang dilihatnya tentang pemusik, Fuad mengurungkan niatnya untuk belajar musik dan menjadi musikus profesional. Selain sulit dipisahkan dengan biola, Fuad Hassan juga pernah dikenal sulit meninggalkan kebiasaan "baiknya", yakni merokok. "Saya berhenti merokok gara-gara cucu. Tapi, setelah berhenti merokok, saya malah sering batuk-batuk," demikian seloroh khas Fuad Hassan dalam satu kesempatan. Ia mengemukakan, salah seorang cucunya selalu menjauh jika didekati sambil merokok. "Biasanya dia bilang, kakek jangan dekat-dekat. Kalau merokok di luar rumah saja," ujar Fuad satu ketika. Namun, ia juga mengakui bahwa sikap dan pendapat sang cucu sangat baik, serta menjadi hasil dari kemajuan pendidikan yang bermakna. "Bisa dibilang, saya berhenti merokok bukan karena alasan kesehatan, tetapi karena sayang cucu," kata Fuad dalam satu perbincangannya. Ia kemudian memilih masuk Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia (UI), lulus 1958 dan melanjutkan belajar filsafat di Universitas Toronto, Kanada, pada 1962. Selanjutnya, Fuad mengawali karir sebagai Asisten pada Balai Psikoteknik Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1952- 1956) lalu menjadi Asisten Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (1956-1958). Fuad saat mengajar Psikologi di Universitas Indonesia sangat mengenal dekat mahasiswanya. begitu pula saat ia mengajar di Sekolah Staf Komando Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Seskoad), TNI Angkatan Laut (Seskoal) dan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas; kini Lembaga Ketahanan Nasional) periode 1966-1976. Tahun 1968-1970, Fuad terjun ke dunia politik praktis dengan menjadi anggota DPR/MPR-RI dan kemudian diangkat menjadi Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indoensia serta Direktur Lembaga Studi Strategis Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1972-1976). Ia juga pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Mesir, merangkap Sudan, Somalia, dan Jibouti pada 1976-1980 serta menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri (1980-1985) merangkap Anggota MPR-RI (1982-1987). Pada 1985, Presiden Soeharto memintanya menduduki jabatan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menggantikan Prof Dr Nugroho Notosusanto yang meninggal dunia. Suami Tjiptaningroem itu kemudian dipercaya kembali memimpin Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Karya Pembangunan V (1988-1993). Selama menjadi Mendikbud, ayah dari dua anak itu, antara lain berusaha membenahi pendidikan non-formal, mengefisienkan promosi doktor, memberikan jaminan bagi guru, dan mengatasi perkelahian antarpelajar. Pemimpin yang dikenal dengan kebersahajaannya itu juga berusaha menstabilkan sistem pendidikan nasional dengan tidak banyak melakukan perubahan kurikulum dan sistem pendidikan selama menjadi menteri. Dan, kebijakan itu juga diikuti oleh Menteri Pendidikan Nasional selanjutnya, Wardiman Djojonegoro. "Saya juga ingin menghentikan pameo 'ganti menteri sama dengan ganti sistem dan ganti kurikulum', saya melanjutkan apa yang telah dirintis Pak Fuad ketika menjadi menteri," demikian Wardiman Djojonegoro mengenang sang pendahulu dan panutannya, Fuad Hassan. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007