Jayapura (ANTARA News) - Para pemimpin agama se Papua, menyampaikan pokok-pokok pemikiran mengenai upaya membangun dialog menuju Papua tanah damai. Pokok-pokok pemikiran itu ditandatangani di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, Jumat (7/12). Mereka yang menandatangani naskah pokok pemikiran itu antara lain Uskup Leo Laba Ladjar,OFM, H.Sarmadan Sabuku,S.Ag, Pdt.Wilem J.Maury, Pdt Eddy Santoso, Pdt Moury Kogoya, Dudung AQN,SH, Pdt Albert Yoku, Pdt Andreas Ayomi, dr Gunawan Ingkokusumo, Pastor Izaak Bame dan Pastor Rudy Rumlus,OSC. "Kami, para pemimpin agama se-Papua mencermati perkembangan situasi masyarakat, khususnya dinamika sosial dan politik dengan penuh perhatian. Sebagai bagian dari masyarakat, kami merasa dan mengalami adanya sejumlah praktek yang bertentangan dengan pasal-pasal sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua," tulis para pemimpin agama itu. Adapun praktik yang melawan UU Otsus itu antara lain, terjadinya konflik sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari pemekaran provinsi dan kabupaten/kota, terhambatnya pengesahan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi), tiadanya perencanaan yang matang dan pembangunan serta pengembangan kampung, penambahan personil maupun pos-pos militer secara berlebihan dan semakin terpinggirkannya orang asli Papua di tanah leluhurnya. Menyedari kondisi tersebut, para pemimpin agama se-tanah Papua kembali mengedepankan sejumlah fakta yang mengusik keadaan dan hati nurani seluruh lapisan masyarakat Papua yaitu tiadanya pihak yang berkehendak baik untuk melaksanakan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus, baik di tingkat Pemerintah Pusat, DPR RI, Pemerintah Provinsi, DPR Papua maupun Majelis Rakyat Papua (MRP). Akibat dari itu adalah munculnya berbagai masalah di Papua dan yang paling menonjol adalah belum adanya pemerataan di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi di seluruh wilayah Papua. Begitu pula, pemekaran wilayah yang dilakukan secara menyimpang dari ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua mengakibatkan konflik-konflik baru di seluruh wilayah Papua, antara lain telah terjadi perpecahan pada suku-suku asli di Papua, terdesaknya tenaga kerja asli Papua karena tidak ada perencanaan kerja yang baik dan tidak adanya keseimbangan peningkatan sumber daya manusia. Selain itu, bergesernya kepemilikan hak ulayat dan pembangunan yang berorientasi uang. "Kurangnya penghayatan terhadap paham dan nilai demokrasi telah mengakibatkan sejumlah pemilihan kepala daerah atau Pilkada bermasalah," kata para pemimpin agama itu. Pihak-pihak yang mencalonkan diri dalam Pilkada telah menghalalkan segala cara, antara lain dengan menggunakan politik uang dan pengerahan massa yang senyatanya memecah-belah rakyat (agama,suku, kampung dan lain-lain). Mereka juga menggunakan agama sebagai sarana untuk mencapai tujuan mereka, misalnya menggunakan gereja-gereja sebagai pendukung kampanye. Setelah terpilih, muncul diskriminasi dalam pelayanan pemerintah karena hanya memperhatikan para pemilihnya saja. Para pemimpin agama se-Papua ini pun menyoroti kebijakan pembangunan pos-pos militer dan pengerahan pasukan TNI di Papua yang menyimpang dari ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. . (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007