Nusa Dua (ANTARA News) - Daya serap karbon dari sumber daya laut sangat besar dan berkali-kali lipat daripada sumber daya hutan di darat, karena itu adalah tidak adil jika hanya hutan yang dimasukkan dalam perundingan pengurangan emisi karbon dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). "Sebagai negara kelautan, potensi sumber daya laut Indonesia untuk menyerap karbon tercatat dalam data DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) sangat besar, total 245,6 juta ton karbon per tahun," kata anggota Delegasi RI Dr Edvin Aldrian di sela UNFCCC (Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim) di Nusa Dua Bali, Sabtu. Jumlah tersebut berasal dari ekosistem terumbu karang seluas 61 ribu km2 dengan daya serap 73,5 juta ton CO2 per tahun, rumput laut seluas 30 ribu km2 dengan daya serap 56,3 juta ton karbon, bakau 93 ribu km2 dengan daya serap 75,4 juta ton karbon dan laut terbuka 5,8 juta km2 dengan daya serap karbon 40,4 juta ton per tahun. Sementara itu, Pakar Lingkungan dari Centre for Environmental Modelling and Prediction, University of New South Wales, Sydney, Ben McNeil dalam papernya menyebutkan, jika emisi karbon total dunia diukur 5,9 per tahun dan daya serap hutan hanya 0,6, maka selisih akumulasi karbon sangat besar yakni 5,3 per tahun. Namun karena ada daya serap karbon di lautan yang mencapai 2,0, maka akumulasi karbon di atmosfer hanya 3,3 per tahun. Itulah mengapa memperhitungkan potensi penyerapan karbon di lautan perlu diadakan, ujarnya. Ia menguraikan, total area permukaan laut dunia yang ditentukan oleh Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mencapai 100 juta km2 atau 27 persen dari total laut dengan estimasi kasar untuk penyerapan karbon ZEE nasional ujarnya, mencapai rata-rata 0,5 mol per m2 per tahun. Ia mencontohkan Australia, kawasan laut ZEE-nya mencapai 7-10 juta km2 mampu menyerap dan menyimpan karbon sampai 135-200 juta ton CO2 per tahun. Namun demikian, meski memiliki ZEE yang sangat luas Australia tetap tidak termasuk yang paling diuntungkan dengan penghitungan serap karbon dari sumber daya lautan, ujarnya. Menurut Edvin Aldrian, besar keuntungan dari daya serap lautan terhadap karbon harus dihitung juga dari besar emisi di daratannya sehingga negeri kepulauan kecil justru yang paling diuntungkan dengan penghitungan penyerapan karbon lautan. Soal siapa yang diuntungkan dibanding berbagai negara lain di dunia itu, kata Ben McNeil, adalah Kiribati, negeri kepulauan di samudera Pasifik, karena penyerapan karbonnya 2.500 lebih besar daripada emisinya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007