Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Miranda Swaray Goeltom mengungkapkan perlunya otoritas fiskal dan moneter merintis sebuah contingency plan (rencana cadangan) untuk menjamin benefit perekonomian yang sudah diraih tidak serta merta hilang ketika terjadi tekanan terhadap perekonomian. "Tujuan utamanya menjamin benefit perekonomian yang sudah diraih tidak serta merta hilang seperti pengalaman krisis 1997-1998 lalu," kata Miranda dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ekonomi UI di Jakarta, Sabtu. Menurut Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) itu, contingency plan harus berisi penjabaran detil langkah-langkah pelaksanaan kebijakan masing-masing otoritas di saat genting. Apabila mengacu kepada salah satu bentuk koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dalam konteks leader-follower, maka hal utama yang menjadi perhatian adalah bentuk dan sumber permasalahan yang hendak dipecahkan. Suatu ketika, shock ekonomi akibat kenaikan harga minyak, menuntut otoritas fiskal mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera. Pada saat seperti itu, otoritas moneter menjadi follower dengan melakukan kebijakan moneter yang tidak bersifat mengganggu stabilitas makro ekonomi. Pada saat lain ketika shock ekonomi datang dalam bentuk tekanan pada sektor eksternal dan misalnya nilai tukar menjadi tertekan, maka otoritas moneter harus segera melahirkan kebijakan moneter sebagai respon stabilisasi perekonomian, dan otoritas fiskal pun menjadi follower dengan menetapkan kebijakan fiskal yang mendukung pemulihan stabilitas makro ekonomi. Namun perlu diingat bahwa jika shock yang terjadi dipandang terlalu kecil, maka tidak perlu ada mekanisme leader-follower itu. Sehingga dalam kerangka contingency plan yang hendak disusun, terdapat pula ukuran atau level dari shocks. "Hal ini penting untuk menjadi dasar pembentukan contingency plan sebab bila ukuran atau level dari shock tersebut terlewati maka apabila tidak ada protokol yang mengatur respon optimal kebijakan, dan koordinasi tidak direncanakan dalam satu rangkaian perencanaan, maka respon dari sebuah otoritas akan menjadi terlalu besar dari porsi yang seharusnya. Akibatnya, otoritas yang lain terpaksa harus merespon dengan kebijakan yang tidak optimal," katanya. Menurut dia, contingency plan juga harus dilengkapi dengan langkah kebijakan yang bersifat preventif dan kuratif untuk menangkal dampak negatif dari arus modal keluar dalam skala besar yang dapat terjadi secara tiba-tiba akibat integrasi ekonomi global. Paduan kebijakan yang bersifat preventif dapat berupa koordinasi moneter dan fiskal untuk terus mempertahankan kestabilan makro ekonomi secara konsisten, penciptaan atmosfir yang baik bagi penanaman modal asing, serta pengembangan infrastruktur. Kebijakan yang bersifat kuratif sangat berkaitan dengan upaya stabilisasi ekonomi jangka sangat pendek, di mana shock dalam perekonomian Indonesia bermanifestasi menjadi keadaan yang genting. "Cirinya sudah dikenal yaitu larinya modal asing dalam jumlah besar secara tiba-tiba, serta melemahnya nilai tukar rupiah secara mendalam, melonjaknya inflasi, serta runtuhnya ekspektasi rasional para pelaku ekonomi domestik dan asing," kata Miranda. Menurut dia, jika sudah terjadi kondisi demikian maka perekonomian Indonesia sudah masuk fase genting dalam kategori krisis ekonomi yang dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh sektor dalam perekonomian. Otoritas moneter dan fiskal harus bahu-membahu dengan cerdik di saat genting itu. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007