Hawa sejuk yang terbawa dari Danau Toba mulai terasa ketika kendaraan rute Pematang Siantar - Parapat tiba di Sibanganding. Beberapa kelokan dari sana, hamparan air yang luas, biru, dan tenang, pun mulai tampak. Sambil mengikuti gerak kendaraan yang meliuk-liuk di jalanan yang berbelak-belok di punggung perbukitan menuju Parapat, pas sekali ketika hati menyenandungkan lagu "Jongjong Ahu Manatap" milik kelompok vokal asal Medan, Parisma 71, yang populer pada 1970-an. "Jongjong ahu manatap, di topi ni tao i. Laho mamereng-mereng Ho, oh? Tao Toba i. Sasude na arsak, di bagasan rohangki, Mago do sudena i, di na hubereng Ho." Lagu itu bercerita tentang hilangnya segala kegundahan untuk sejenak ketika hati menjadi teduh saat menatap Danau Toba. Begitu pun ketika perjalanan kendaraan selesai di tepian danau di Parapat pada siang hari. Angin yang bertiup pelan seperti menghapus segala kepenatan akibat perjalanan yang melelahkan, juga penatnya kehidupan di ibukota. Reff lagu tadi mengalun: "Di na hubereng Ho, ro sian na dao, tung mansai sonang, So marna loja ahu, di topi ni Tao Toba i, mamereng-mereng ho..." (Dikala aku menatap engkau, jiwaku tenteram, Tak bosan-bosannya aku menatapi engkau ... oh Danau Toba). Perjalanan dilanjutkan dengan kapal motor selama setengah jam untuk merapat ke Tomok, sebuah kawasan di Pulau Samosir. Sambil menikmati angin yang menampar wajah, sejumlah lagu tentang Danau Toba pun kembali nikmat di kumandangkan, seperti Oh Tao Toba dan Pulo Samosir. Beberapa saat sebelum kapal berlabuh di Tomok, terlihat lah hamparan keramba ikan yang mengapung di kejauhan. Pemandangan yang berbeda dengan keadaan beberapa puluh tahun lalu. Ketika itu, di perairan di dekat Tomok hanya menyuguhkan hilir mudik kapal penumpang dan sampan nelayan. Sejenak pikiran menerawang kepada acara lokakarya Pengembangan Wisata Budaya di Kawasan Danau Toba di Medan dua hari sebelumnya. Keramba ikan itu dikelola perusahaan penanaman modal asing dari Swiss, dengan membudidayakan ikan nila merah di dalam sekitar 300 jaring, dengan produksi sekitar 25.000 ton ikan per tahun. Produknya berupa irisan daging ikan (fillet) untuk diekspor ke Amerika Serikat dan Eropa. Kehadiran usaha keramba ikan itu dinilai positif karena memberi lapangan kerja bagi warga sekitar dengan sejumlah dampak ikutan lain di bidang perekonomian masyarakat setempat. Persoalan muncul ketika pemerintah Kabupaten Samosir menetapkan fungsi utama Danau Toba sebagai kawasan pariwisata, dan fungsi perikanan sebagai pendukung. Sesuai zonasi, perairan di sekitar Tomok ditetapkan sebagai kawasan wisata, akibatnya keramba ikan harus dipindah. Namun hingga saat ini pemindahan belum dilakukan karena belum ada keputusan dari pemerintah kabupaten. Selain itu, ditengarai bahwa kemunduran pariwisata kawasan Danau Toba dalam beberapa tahun terakhir terkait dengan penurunan kualitas danau akibat polusi sisa pakan ikan dari keramba dan berkembangnya eceng gondok, serta tiadanya daya pikat lain selain potensi wisata alam, misalnya atraksi budaya dan kesenian tradisional. Perairan pantai yang kotor menyebabkan wisatawan enggan mandi di danau. Hal itu menjadi kampanye negatif bagi pariwisata Danau Toba, kata Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatera Utara Iman Pandia pada Lokakarya Pengembangan Wisata Budaya di Kawasan Danau Toba di Medan beberapa waktu lalu. Kunjungan wisatawan asing ke Propinsi Sumatera Utara mengalami puncaknya pada 1995, dengan jumlah sekitar 300.000 orang. Angka itu kemudian turun akibat resesi ekonomi di Indonesia menjadi sekitar 89.000 orang pada 1999, dan perlahan-lahan naik menjadi sekitar 130.000 orang pada tahun 2006. Atraksi budaya merupakan pendukung penting bagi wisata alam Danau Toba. Setelah menikmati keindahan danau dan sekelilingnya pada siang hari, pada malam hari bisa disuguhkan atraksi seni-budaya untuk memperkaya pengalaman dan nilai spiritualitas wisatawan. Hal itu, kata Pandia, selain meningkatkan daya tarik kunjungan, juga akan meningkatkan lama tinggal (length of stay) wisatawan, sekaligus meningkatkan nilai ekonomi industri pariwisata kawasan Danau Toba. Lama tinggal wisatawan untuk menikmati obyek wisata alam rata-rata hanya dua hari. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas wisata budaya tersebut, maka sanggar-sanggar seni yang ada di sejumlah daerah direncanakan dihidupkan kembali. Terkait hal itu pemerintah Kabupaten Samosir telah membentuk Dewan Kesenian Samosir (DKS). Kegiatan perdana dewan ini mengadakan pentas Opera Batak (teater rakyat) di Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir, beberapa waktu lalu, dengan lakon Guru Saman. Lakon ini menceritakan kasus pembunuhan satu keluarga pengurus gereja, Marthin dan istrinya yang hamil tua, Clara, karena pebedaan paham soal berdoa. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Maringan Simbolon, acara tersebut mendapat sambutan dari sekitar 1.000 penonton. "Ada permintaan untuk mementaskan cerita-cerita lain," katanya, sambil menyebut beberapa judul antara lain Si Boru Tumbaga, Si Piso Somalim, Batu Gantung dan Sisingamangaraja. Pada 70-an saat televisi belum merambah, opera merupakan alternatif hiburan terpenting. Setelah seharian bekerja di ladang, pada malam hari warga menonton opera untuk menikmati pentas cerita-cerita rakyat. Bagi kaum muda, opera merupakan sarana meniti kasih. Sesaat setelah kapal merapat, penumpang turun dan bergegas menuju makam Raja Sidabutar, yang merupakan obyek wisata utama di Tomok. Jalanan menuju makam dipenuhi dengan kios penjual cinderamata. Di depan sebuah kios, tiga wanita paruh baya sedang merayu seorang wisatawan asal Malaysia untuk membeli sepotong kemeja batik. Si wisatawan tampaknya kurang berminat dengan mengatakan uangnya tidak cukup, namun mereka tidak menyerah. Laki-laki itu akhirnya mengalah lalu menyerahkan uang 20 ringgit. Ketika melewati kios yang menjual aneka pakaian, sambil menawarkan dagangannya penjaga menyapa dan menanyakan asal-usul konsumennya. Ketika ada jawaban yang menyebutkan asal dari Huta Ginjang, Samosir, wanita penjual suvenir itu pun mengeluarkan jurus SKSD (sok kenal, sok dekat) dengan menyebut beberapa orang kenalan di desa itu. Buntutnya, dua lembar uang pecahan Rp50.000 harus direlakan untuk dua pasang pakaian anak-anak. Lagak para penjual suvenir itu bak aksi marketing yang kukuh merayu pembeli. Namun, ada yang menyebut bahwa aksi mereka sering kali seperti memaksa. Hal itu diakui Pandia, bahwa banyak pelaku pariwisata di sekitar Danau Toba tidak sadar tindakan-tindakan mereka justru berdampak buruk bagi masa depan bisnis pariwisata daerahnya. Oleh karena itu, katanya, pelatihan sadar wisata bagi pelaku bisnis pariwisata dan masyarakat sekitar kawasan wisata, menjadi program penting pemerintah daerah untuk membangun industri pariwisata yang menjadi andalan sumber pendapatan daerah. Ketika kapal bergerak kembali ke Parapat, aksi-aksi para pramuniaga itu kembali mengiang. Kisah makam Raja Sidabutar yang diceritakan pemandu wisata, bahkan sirna dihempas jurus-jurus penjualan yang mereka terapkan. Muncul pertanyaan, mengapa mereka harus berpikir jangka pendek dan kepentingan sesaat? Tapi belaian angin dan goyangan kapal membuat mata tak kuat lagi menahan kantuk. Tiba-tiba kapal pun merapat kembali di Parapat. Para penumpang turun dari kapal, lalu naik ke mobil untuk kembali ke Medan, meninggalkan Samosir dan Toba. Semakin jauh, Samosir yang berenang di Danau Toba pun terlihat semakin kecil. Air danau itu terlihat semakin tenang. "Di nalaho mulak Ahu, mulak tu ingananhi, Sai tong-tong targombar ho, diangan-anganhi. (Ketika aku pulang, engkau (Danau Toba) senantiasa terkenang di hatiku), begitu bait terakhir lagu "Jongjong Ahu Manatap". (*)

Oleh Oleh Biqwanto Situmorang
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007