Makassar (ANTARA News) - Konsideran Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang digodok di DPR RI tidak jelas subtansinya, kata seorang pengamat pendidikan. "Draf RUU BHP yang merupakan hasil revisi ke-32 kalinya itu tidak jelas apa yang mau diatur, apakah manajemen sistem pendidikan, partispasi masyarakat atau kualitas pendidikannya," kata Darmaningtyas, pengamat pendidikan asal Universitas Gadjah Mada (UGM) pada diskusi terbatas bertema "Membedah BHP" yang digelar Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) di Makassar, kemarin. Menurut pemerhati pendidikan yang aktif melakukan kajian-kajian ilmiah ini, RUU BHP lebih banyak mengarah pada pembagian tanggung jawab pemerintah ke masyarakat terhadap dunia pendidikan yakni sekitar sepertiga menjadi tanggung jawab masyarakat. Sementara jika kelak RUU BHP itu disahkan menjadi UU, maka UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) akan dikesampingkan sesuai dengan hirarki perundang-undangan secara `lex spesialis`. "UU Sisdiknas nanti tidak akan berlaku lagi kalau sudah ada undang-undang khusus BHP," ujarnya. Lebih jauh dijelaskan, RUU BHP dari segi terminologi dan materialnya lebih cocok untuk mengatur sebuah korporasi atau perusahaan dan apabila itu diterapkan maka akan rawan konflik di kalangan pengelola pendidikan, khususnya pihak yayasan pengelola. Sementara itu Dr Mansyur Semma, akademisi dari Universitas Hasanuddin pada kesempatan yang sama mengatakan, munculnya BHP merupakan gambaran terjadinya perubahan paradigma pemerintah dalam memandang sektor pendidikan. "Paradigma pemerintah kini sudah memandang pendidikan sebagai komoditi sedang dari penerapan BHP itu akan memicu terjadinya konflik dan membuat kesenjangan yang semakin menganga dari sisi peluang mendapatkan pelayanan pendidikan yang sama," katanya. Ia menambahkan, komesialisasi lembaga pendidikan tinggi dalam era BHP nanti sudah menjadi harga mati sehingga yang miskin akan semakin sulit mengecap pendidikan. Sebagai gambaran, Intitut Pertanian Bogor (IPB) pada Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun ini dengan jumlah mahasiswa mencapai 2.300 orang, ternyata hanya sekitar 300 orang yang lulus murni hasil SPMB sedang selebihnya dilelang kepada instansi-instansi pemerintah maupun swasta yang mau `membeli` bangku kuliah dengan harga yang cukup mahal. "Ini artinya, kesempatan bagi masyarakat umum untuk masuk ke perguruan tinggi semakin terbatas," katanya. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007