Jakarta (ANTARA News) - Jajaran pimpinan PT Adindo Hutani Lestari (AHL) membantah tuduhan yang menuding PT AHL telah melakukan tindakan semena-mena seperti menggusur warga dayak. "Semua tuduhan itu tidak benar dan tidak berdasar," kata General Manager Humas PT Adindo Hutani Lestari, H Afrijon, dalam siaran pers yang diterima ANTARA News di Jakarta, Rabu. Menurut Afrijon, yang terjadi justru ada tindakan segelintir masyarakat yang diprovokasi oknum tertentu untuk merusak hutan akasia yang mulai tumbuh di areal PT AHL. "Tapi itu hanya satu dua anggota masyarakat yang berhasil diprovokasi yang melakukannya. Sedangkan sebagian masyarakat tempatan malah bekerja bersama kami," kata Afrijon. Areal hutan yang dipersoalkan, menurut Afrijon, adalah Kawasan Hutan di Kalimantan yang dikenal sebagai Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Di lokasi KBK itulah, PT AHL memiliki konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang didapat PT AHL sejak tahun 1992 dari Menteri Kehutanan. Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), sesuai peraturan Undang-Undang, memang tidak bisa dimanfaatkan selain untuk kepentingan usaha kehutanan. Karena, pemerintah sudah mengatur Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) sebagai areal untuk usaha di luar kehutanan seperti misalnya perkebunan atau pertambangan. Di areal konsesi PT AHL, katanya, ada upaya sekelompok orang untuk menyerobot lahan AHL untuk dijadikan perkebunan. "Tentunya hal itu tidak bisa dilakukan karena itu kawasan hutan," kata Afrijon. Kelompok orang seperti ini kemudian memprovokasi masyarakat untuk protes atau demonstrasi. Menurut Afrijon, justru dengan kehadiran Adindo geliat pembangunan masyarakat sekarang ini mulai terasa. Setidaknya, lanjut dia, sudah ada sekitar 750 warga desa sekitar areal AHL yang bekerja di perusahaan tersebut. "Jumlah itu akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan perusahaan. Semakin luas lahan yang akan ditanami, otomatis makin banyak tenaga kerja dibutuhkan," katanya. Afrijon mengakui memang ada beberapa bidang lahan yang tumpang tindih dengan kepentingan masyarakat tempatan. Tetapi, persoalan tersebut sudah ditangani Pemda Bulungan atau Pemda Nunukan, dua pemerintahan di mana areal PT AHL berlokasi. "Kami percayakan pada Pemda untuk penyelesaian setiap perselisihan untuk mendapat jalan keluar terbaik," kata Afrijon. Dia juga menyatakan tekad perusahaannya untuk selalu mengedepankan kepentingan masyarakat pada urutan pertama, baru kemudian alam/lingkungan, serta yang terakhir, barulah keuntungan. "Kami itu mengedepankan tekad maju dan sejahtera bersama masyarakat," kata Afrijon menegaskan. Tentang tuduhan menggunakan aparat keamanan atau kepolisian, Afrijon mengatakan justru kehadiran aparat kepolisian tersebut untuk mencegah adanya bentrokan antar warga masyarakat. Menurut dia, banyak warga masyarakat yang bekerja di AHL terganggu dengan adanya demonstrasi, karena mereka tidak bisa bekerja. Karena itu, mereka menentang setiap demonstrasi yang menyebabkan waktu mereka hilang. Sebelumnya, Ketua Dewan Adat Dayak Tidung Kalimantan Timur APM Adji Radin Alam H Mochtar Basry Idris menyatakan telah melaporkan PT AHL kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena perusahaan itu dinilai telah bertindak semena-mena dengan menghancurkan sumber mata pencaharian masyarakat adat setempat. Dalam suratnya kepada Presiden, Dewan Adat Dayak Tidung meminta Presiden agar memerintahkan Menteri Kehutanan mencabut SK No.88/Kpts-II/1996 tentang izin operasional PT AHL di Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Nunukan. Alasannya, PT Adindo dalam kegiatan operasionalnya dinilai telah menghancurkan mata pencaharian masyarakat adat setempat seperti kebun buah-buahan, tanaman padi, serta goa-goa sarang burung. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007