Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah disarankan mengkaji kemungkinan penerapan pajak "windfall profit" atau keuntungan tiba-tiba dari kenaikan harga minyak dunia, sehingga dapat meningkatkan penerimaan negara untuk menutupi peningkatan kebutuhan subsidi. "Perlu dikaji penerapan pajak `windfall profit` sebagai tambahan atas pajak yang sudah berlaku selama ini," kata pengamat perminyakan, Kurtubi, dalam sebuah seminar proyeksi ekonomi 2008 di Jakarta, Rabu. Menurut dia, hal itu bukan barang baru lagi, karena juga sudah diterapkan di negara-negara maju lainnya. "Bahkan di negara yang super liberal seperti Inggris juga diterapkan," katanya. Dikatakannya, harga minyak dunia yang pada 2008 akan berkisar pada 70-100 dolar AS per barel, dengan nilai tengah 90 dolar AS per barel, benar-benar akan membuat pemerintah bekerja keras untuk menutupi kenaikan subsidi. "Harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2008 seharusnya tidak boleh 60 dolar AS per barel. Itu seharusnya sekitar 85 persen," katanya. Apalagi, tambahnya, asumsi lifting 1,034 juta barel per hari pun sangat diragukan, mengingat tidak pernah tercapainya angka lifting 1 juta barel per hari, dan produksi dari Cepu pun diragukan bisa dimulai pada tahun depan. Ditambahkannya, Indonesia memang menikmati kenaikan pertambahan PPh dan PNBP migas dari kenaikan harga minyak dunia, namun tingginya impor minyak mentah Indonesia telah mengkompensasi kenaikan penerimaan migas itu. "Impor minyak mentah Indonesia saat ini mencapai 3 miliar dolar AS per bulan. Ini harus diperhatikan," ujarnya. Subsidi BBM dalam APBN 2008 tercatat Rp45,807 triliun, dengan asumsi harga minyak ICP Rp60 dolar AS per barel, lifting minyak 1,034 juta barel per hari, dan nilai tukar rupiah Rp9.100 per dolar AS. Dituturkannya, harga minyak dunia memang bakal menurun pada triwulan II 2008, namun itu tidak mungkin mencapai 70 dolar AS per barel karena harga terendah yang diterima OPEC adalah 70 dolar AS per barel. "Bahkan Arab Saudi kini tidak mau kalau di bawah 80 dolar AS per barel. Jadi kalau ada tanda-tanda penurunan ke bawah 80 dolar AS per barel, Arab Saudi bakal menurunkan produksinya," ungkap Kurtubi. (*)

Copyright © ANTARA 2007