Jakarta (ANTARA News) - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan pengulangan pemilihan kepala daerah (pilkada) di empat daerah pemilihan di Sulawesi Selatan (Sulsel) dinilai sudah tepat dan sesuai kewenangan MA, demikian amatan Seven Strategic Studies, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan Observer Indonesia. Ketiga lembaga tersebut mengeluarkan hasil pengamatan bersama itu di Jakarta, Rabu, dan menyatakan bahwa MA telah melakukan fungsinya sebagai institusi terakhir, serta satu-satunya yang diberi mandat yuridis untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara. "Putusan MA tidak terbatas harus berdasar pada muatan pasal 106 UU Nomor 32/2004, akan tetapi juga dapat memutuskan pemungutan suara ulang, sepanjang terdapat bukti kuat adanya keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 104," ujar Direktur Eksekutif Seven Strategic Studies, Mulyana W. Wirakusumah. Mulyana menyebut kritik atas putusan MA wajar berkembang di masyarakat, namun opini yang diarahkan untuk menista institusi dan memobilisasi ketidakpercayaan dan legitimasi atas pembangkangan terhadap putusan MA jelas-jelas telah merusak nilai-nilai negara hukum yang dianut Indonesia. "Perlu pula diingat, segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam perundangan-undangan dan pelakunya dapat dipidana," kata mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut. Meskipun demikian, Mulyana menuntut MA, agar dapat memberikan penjelasan mengenai dasar pengambilan keputusan tersebut, sehingga dapat memperjelas persoalan. "Selama ini perdebatan didasarkan atas naskah utuh putusan MA, padahal putusan itu ada latar belakangnya. MA harus segera memberikan penjelasan utuh keseluruhan konsiderasi yang melatarbelakangi pengambilan putusan itu," katanya. Berdasarkan pasal 106 UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, MA hanya bisa memerintahkan penghitungan ulang pilkada, bukan pemilihan ulang. "Tapi, pasal 104 menyebutkan bahwa bila ada kondisi yang dianggap perlu, MA dapat memerintahkan pemilihan ulang. Posisi inilah yang diambil MA," kata Mulyana. Mulyana mengingatkan bahwa keputusan yang ditetapkan MA bersifat final dan mengikat, sehingga upaya Peninjauan Kembali (PK) juga tidak dapat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. "Upaya untuk memohon Mahkamah Konstitusi menggunakan wewenangnya dengan alasan telah terjadi sengketa kewenangan lembaga negara juga tidak tepat, karena MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 pada Mahkamah Konstitusi," papar Mulyana. Menanggapi masalah biaya besar yang timbul akibat adanya pemilihan ulang, Mulyana menilai, merupakan konsekuensi dari sistem politik yang dianut Indonesia dan konsekuensi dari ditetapkannya MA sebagai pengambil keputusan tertinggi. Keputusan MA berawal dari KPU Daerah Sulsel menetapkan pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang yang disokong Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan sebagai pemenang lewat pemilihan yang berlangsung tanggal 5 November itu. Sementara itu, pasangan yang kalah, Amin Syam-Mansyur Ramly mengajukan keberatan di tiga daerah, dan putusan MA kemudian memerintahkan pemilihan ulang dilakukan di empat daerah, yakni di Kabupaten Goa, Tana Toraja, Bantaeng dan Bone. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007