Jakarta (ANTARA News) - Mantan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja Depnakertrans, Marudin Saur Maruli Tua Manihuruk, diancam pidana 20 tahun penjara atas dakwaan korupsi dana audit investigasi dana tenaga kerja asing pada 2004 dengan kerugian negara Rp6,199 miliar. Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu, dalam dakwaannya menyatakan Manihuruk bersama-sama dengan Kepala Sub bagian Evaluasi, Pelaporan bidang Program Depnakertrans, Suseno Cipto Mantoro, telah melanggar Keppres Nomor 80 tahun 2003, UU nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara dan Keppres nomor 42 tahun 2002 tentang pedoman pelaksanaan APBN. "Terdakwa dinilai telah memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan melakukan penunjukan langsung dalam jasa audit investigasi untuk dana yang dikumpulkan dari penggunaan tenaga kerja asing kepada 46 dinas tenaga kerja dan transmigrasi di provinsi / kabupaten / kota," kata JPU Muhammad Rum saat membacakan surat dakwaan. Ia menjelaskan terdakwa I MSM Tua Manihuruk bersama-sama dengan terdakwa II Suseno Cipto Mantoro berniat untuk melakukan audit investigasi atas pengumpulan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) pada 2004. "Terdakwa I ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan audit investigasi terhadap 46 disnakertrans di sejumlah provinsi/kabupaten/kota sementara terdakwa II mengajukan nota dinas yang isinya adalah permohonan izin prinsip penunjukan langsung kantor akuntan publik yang akan menangani hal tersebur," kata JPU. Dana audit investigasi tersebut diambil dari pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp9,297 miliar. "Pada Desember 2004 diadakan rapat di kantor terdakwa I bersama-sama dengan Johan Barus, dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Johan Barus. dalam rapat itu terdakwa I menyampaikan rencana anggaran kegiatan audit investigasi tersebut," kata anggota JPu lainnya Riyono. Dari pertemuan itu kemudian terdakwa I meminta terdakwa II untuk menyiapkan dokumen pencairan dana dan dokumen penawaran pekerjaan. Masih menurut JPU. Semua dokumen yang dibutuhkan dibuat saat itu dengan tanggal mundur seolah-olah dokumen itu telah ada sebelum pertemuan Desember 2004 hingga adanya penyerahan pekerjaan. "Dokumen yang telah dibuat itu kemudian dibawa ke Johan Barus yang pada akhir 2004 tengah dirawat di rumah sakit. Oleh Johan Barus semua dokumen itu ditandatangani," ujar Riyono. Setelah lengkap dokumen itu kemudian diberikan kepada Robert Pasaribu, staf terdakwa, untuk diurus pencairan dananya. Pada 29 Desember 2004 Kantor Pelayanan Kas Negara (KPKN) III mengeluarkan surat perintah bayar untuk KAP Johan Barus atas audit investigasi yang dilakukan padahal pekerjaan belum dilakukan. "Setelah dipotong pajak kemudian dikeluarkan dana sebesar Rp7,817 miliar dan ditransfer ke rekening Johan Barus. Hal itu melanggar ketentuan pasal 21 ayat (1) UU nomor I tahun 2004, padahal dana yang dibutuhkan untuk kegiatan audit investigasi hanyalah Rp1,617 miliar," kata anggota tim JPu lainnya Andi Suhardi. Pada Februari 2005 di kantor terdakwa dilangsung pertemuan dengan KAP Johan Barus dan meminta agar audit investigasi dilakukan mulai Februari hingga April 2005 padahal seharusnya audit itu dilakukan pada tahun anggaran 2004. Pada Maret 2005 kembali dilakukan rapat dan terdakwa I meminta agar KAP membuat dua laporan, satu laporan tertanggal 15 Maret 2005 dan satu laporan tertanggal 27 Desember 2004. "Dari kelebihan anggaran yang digunakan sebesar Rp6,199 miliar terdakwa I mendapat Rp1,4 miliar, , Johan Barus menerima Rp1,4 miliar, Boy Danil Yunus mendapat Rp1,8 miliar, Nurhadi Djazuli Rp427 juta, Hari Budiman Yunus Rp395 juta, Oktavianus Puspo Indrajaya Rp395 juta, Mulyono Rp80 juta dan Robert Pasaribu Rp57 juta," kata JPU. Akibat perbuatan itu negara telah dirugikan sebesar Rp6,199 miliar. Kedua terdakwa dinilai melanggar hukum sesuai pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHPidana pada dakwaan primair. Sementara itu pada dakwaan subsider, keduanya dinilai melanggar hukum sesuai pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHPidana. Majelis hakim yang diketuai oleh Sri Martini akan melanjutkan persidangan pada Selasa (8/1) dengan agenda pembacaan eksepsi kedua terdakwa.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008