Surabaya (ANTARA News) - Tindakan tanggap darurat yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah terhadap bencana yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia hingga kini masih lemah sehingga mengakibatkan penanganan menjadi tidak maksimal. Pernyataan itu disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Ridho Saiful Ashadi kepada ANTARA News di Surabaya, Kamis, menanggapi rentetan peristiwa banjir dan tanah longsor yang terjadi beberapa pekan terakhir. "Kami melihat antisipasi pemerintah daerah terhadap bencana masih lemah, bahkan tindakan tanggap darurat yang seharusnya sudah direncanakan, tidak berjalan dengan baik," katanya. Dari pengamatan lapangan yang dilakukan aktivis Walhi Jatim di daerah bencana banjir, seperti di Ngawi, Magetan, Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik, tampak penanganan yang kacau. Proses evakuasi, penyiapan lokasi pengungsian dan penyaluran bantuan terhadap warga korban banjir tidak maksimal. Selain itu, tambahnya, petugas Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Penanggulangan Bencana yang ada di daerah juga tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan sistematis. "Akibatnya, bantuan menumpuk di posko-posko, tapi tidak terdistribusi dengan baik kepada korban banjir. Ini sungguh sangat ironis, mengingat banjir itu sebenarnya sudah bisa diperkirakan jauh hari sebelumnya," katanya. Kasus banjir yang melanda belasan kecamatan di Kabupaten Bojonegoro, menjadi catatan tersendiri bagi Walhi Jatim. Transisi pemerintahan pasca-pilkada pergantian kepala daerah mengakibatkan penanganan bencana tidak terorganisir. Bupati Bojonegoro Moh. Santoso yang beberapa waktu lalu kalah dalam pilkada, lanjut Saiful Ridho, terkesan tidak serius menanggulangi bencana di wilayahnya. "Bahkan saat korban banjir mendatangi pendopo Pemkab Bojonegoro untuk minta bantuan, sejumlah pegawai pemkab justru menyuruh warga minta bantuan pada bupati yang baru terpilih," ujar Saiful. Dari analisa yang dilakukan Walhi, sekitar 85 persen berbagai bencana yang terjadi di wilayah Jatim dalam beberapa tahun terakhir adalah bencana ekologis, akibat kerusakan lingkungan. "Bencana terjadi bukan karena alam atau lingkungan murka. Tapi bencana itu sebenarnya sebuah peringatan bagi masyarakat, bahwa ada kondisi yang tidak seimbang pada alam," kata Saiful. "Artinya, kalau masyarakat tidak ingin bencana serupa terulang di masa mendatang, mereka harus mau berubah dan lebih peduli pada alam dan lingkungan," tambahnya. Ia menambahkan kondisi cuaca yang masih memburuk dan curah hujan yang tinggi dalam beberapa waktu kedepan, masih akan menimbulkan kerawanan bencana di sebagian besar daerah di Jatim, seperti Mojokerto, Pasuruan, Batu, Jember, Banyuwangi, dan lainnya. Hal itu disebabkan kondisi lingkungan, terutama kawasan hutan di Jatim yang hingga kini masih rusak, sementara proses rehabilitasi belum maksimal. "Sampai sekarang belum pernah ada laporan, berapa luas kawasan hutan rusak yang sudah direhabilitasi dan sejauh mana kondisinya. Karena itu, kami mengingatkan pemerintah daerah untuk menyiapkan tanggap darurat guna mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi," tegas Saiful Ashadi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008