Sana`a (ANTARA News) - Mufti elektronik adalah komputer yang dimasuki data seputar masalah hukum Islam dan penggunanya yang ingin bertanya tentang suatu hukum, tinggal menulis pertanyaan, lalu keluar jawabannya. Mufti elektronik tersebut tampak mempermudah orang sibuk dan ingin mengetahui hukum tertentu. Cukup dengan membuat pertanyaan di komputernya dan langsung mendapat jawaban. Namun, banyak ulama di Arab, termasuk dari Lembaga Fatwa Al-Azhar, dan banyak dosen Al-Azhar di Mesir, seperti dilansir sejumlah media Arab hari Senin, tidak setuju dengan gagasan mufti elektronik. "Ada beberapa syarat, yang harus dipenuhi seorang mufti, yang tidak dimiliki alat elektronik, sehingga ide seperti itu harus ditolak," kata Sheikh Abdul Hamid Al-Atrash. Ketua Komisi Fatwa Azhar itu menambahkan bahwa di antara syarat menjadi mufti adalah menguasai bahasa Arab, memahami pendapat ulama salaf, mengetahui kaidah hukum "fiqh", menghafal Al-Quran dan bertakwa. Syarat itu jelas tidak dimiliki komputer, yang hanya bisa menjawab sesuai dengan program. "Fatwa itu pun berbeda dari satu orang ke orang lain. Fatwa tertentu cocok untuk seseorang, belum tentu cocok untuk orang lain," katanya lagi. Guru besar "fiqh" Universitas Al-Azhar, Dr Omar Al-Qadhi sependapat. "Komputer tidak tepat menjadi mufti. Alat itu tepat untuk menyimpan data tentang fatwa, yang telah dikeluarkan ulama, sehingga namanya adalah alat pencari data fatwa elektronik," katanya. Pendapat senada disampaikan mantan Ketua Komisi Fatwa, Sheikh Jamal Qutub. "Selain mufti manusia, alat tidak tepat menjadi mufti, namun cukup sebagai alat penyimpan data tentang urusan agama," katanya, seperti dikutip koran "Al-Rayaa", Qatar. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008