Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda mengakui adanya keperluan untuk memajukan hubungan dwipihak antara Indonesia dengan Malaysia dan Singapura di masa mendatang. "Diakui terdapat masalah-masalah yang harus diatasi untuk memajukan hubungan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia," kata Menlu dalam pernyataan pers tahunan di Ruang Nusantara Departemen Luar Negeri RI Jakarta, Selasa, merujuk pada rekam jejak sepanjang 2007. Menurut dia, dalam sejumlah kasus tertentu yang melibatkan kedua negara tersebut terdapat emosi publik yang cukup menyulitkan. Oleh karena itu, lanjut dia, sekalipun pada tataran pemerintah telah ada pemahaman dan saling pengertian, ketegangan tetap tercipta. Hassan mengatakan hubungan antara negara tetangga acapkali sensitif karena faktor jarak dan itu menjadi tantangan dari para diplomat untuk menjaganya. Sepanjang 2007, hubungan baik RI-Malaysia yang telah berlangsung selama 50 tahun sempat tercoreng oleh sejumlah kesalapahaman yang menyakiti publik Indonesia. Mulai dari penyebutan "Indon" oleh sejumlah media Malaysia untuk merujuk orang Indonesia, pemukulan wasit Indonesia oleh aparat Malaysia, penganiayaan TKI di Malaysia dan perlakuan tidak menyenangkan aparat Malaysia kepada istri salah seorang pejabat Indonesia. Lalu, di penghujung tahun muncul beberapa perselisihan mengenai klaim lagu dan kesenian daerah. Sejumlah kasus tersebut memicu unjuk rasa di sejumlah daerah di Indonesia menuntut permintaan maaf Malaysia. Menlu RI mengatakan, besarnya jumlah WNI di Malaysia memang memperbesar peluang terjadinya konflik. "Ada 1,6 juta hingga 1,8 juta jiwa, belum lagi yang ilegal," ujarnya. Ia menambahkan pemerintah memiliki kesulitan untuk menjangkau pekerja ilegal. Untuk membina hubungan baik dengan Malaysia, lanjut dia, pemerintah kedua negara telah sepakat untuk melakukan perundingan dwipihak secara rutin setiap tahun. "Pekan ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan ke Malaysia untuk pertemuan dwipihak," ujarnya. Selain itu, lanjut dia, kedua pemerintah juga sepakat untuk membentuk kelompok pakar (Eminent Person Group) --yang terdiri atas lima orang untuk masing-masing negara dengan Indonesia dipimpin oleh Try Sutrisno dan Malaysia oleh Tun Musa Hitam-- guna membahas hubungan kedua negara. Sementara itu ketegangan antara Indonesia dan Singapura terutama dipicu oleh "gagalnya" Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (DCA) antara kedua negara. Tidak tercapainya kesepakatan antara kedua negara mengenai aturan pelaksana dalam DCA menyebabkan Perundingan Ekstradisi dan DCA yang telah ditandatangani oleh kedua negara di Bali awal tahun 2007 untuk sementara ditangguhkan pelaksanaannya hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Padahal kedua negara telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membahas Perjanjian Ekstradisi yang memberikan peluang bagi Indonesia guna mengekstradisi para koruptor. Selain itu, kasus perdagangan pasir laut juga sempat menghiasi pasang surut hubungan kedua negara. Akan tetapi, secara umum Hassan menilai hubungan dwipihak antara RI dengan negara-negara tetangga berjalan dengan baik dan makin kuat.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008