Denpasar (ANTARA News) - Kasus pencurian pratima, yakni benda kuno yang terdapat di pura dan disakralkan umat Hindu di Bali, belakangan ini memasuki kondisi yang sangat mengkhawatirkan umat setempat. Para tokoh masyarakat, rohaniawan Hindu, mengungkapkan kemarahannya dan mengutuk tindakan para pencuri. "Memang pratima yang dicuri ukurannya tidak seberapa. Tapi benda itu tidak bisa diukur dengan uang berapapun harganya karena benda itu sangat suci dan disakralkan," tutur Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali I Gusti Ngurah Sudiana. Polda dan sejumlah Polres di Bali yang menangani dan menangkap sejumlah pencuri benda-benda sakral itu menyatakan, pencurian tersebut semata-mata karena faktor ekonomi dan bukan yang lain. Namun, polisi menyebutkan tindakan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus segera disikapi dan diselesaikan secara tuntas. Kepala humas Polda Bali Kombes Pol AS Reniban mengatakan, selama tahun 2006 tercatat sebanyak 96 pura yang tersebar di Pulau Dewata mengalami kasus kecurian "pratima". Kondisi itu tidak jauh berbeda dengan keadaan pada 2007. Dari kasus sebanyak itu, sebagian besar diketahui menimpa Kabupaten Karangasem dengan 46 kasus, menyusul Kabupaten Gianyar dan Buleleng masing-masing 19 dan 11 kasus. Namun kasus kehilangan pratima yang menimpa Pura Taman Sari Manik Tirda, Banjar Kaleran, Desa Pakraman Timuhun, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, 60 km timur Denpasar, tergolong aneh. Sebuah pratima berupa patung Dewi Siwa dengan ukuran sepanjang 50 sentimeter dari kayu kamboja yang hilang dua bulan lalu secara misterius kembali ditemukan di tempat penyimpanan semula. Jero Mangku Tirta (70), pemimpin upacara keagamaan di tempat suci tersebut, mengaku kaget bukan kepalang ketika mendapati pratima itu ada di tempat semula setelah benda itu hilang selama dua bulan. Benda itu ditemukan kembali untuk pertama kali oleh dia bertepatan dengan Hari Siwalatri (hari perenungan dosa), Senin (7/1). "Saya sempat kaget dan tidak percaya pratima yang hilang itu telah kembali secara misterius," tuturnya. Jero Mangku Tirta petang itu datang ke Pura Taman Sari Manik Tirta ditemani menantunya Ni Luh Sriani (38) dan seorang cucu, Ni Komang Purnamiasih (17). Luh Sriani mengaku merasakan keanehan ketika dirinya sedang menjalani suatu ritual di tempat itu seorang diri. Dia pun menyampaikan hal itu kepada Jero Mangku Tirta. Sang mertua bangun dari tempat bersila untuk memeriksa keadaan di tempat menyimpanan pratima dan melihat arca Dewa Siwa yang sebelumnya hilang ternyata sudah ada di tempatnya semula. Warga Gembira Kembali ditemukannya pratima patung Dewi Siwa di gedung tempat penyimpanan itu segera dilaporkan ke kelian pura I Nyoman Layar dan prajuru desa adat setempat. Sejumlah warga setempat mengaku sangat gembira atas penemuan kembali pratima yang hilang dua bulan lalu dan banyak warga yang secara spontan datang ke pura untuk melihatnya. Kabar gembira itupun segera diteruskan kepada Kapolsek Banjarangkan, Klungkung, AKP I Gusti Ngurah Putra Yadnya yang tidak lama kemudian juga bergabung dalam kerumunan warga. Polisi segera melakukan identifikasi, seperti melacak sidik jari di pratima tersebut. "Hasil identifikasi yang dilakukan polisi, sama sekali tidak menemukan sidik jari. Jika memang demikian adanya, jelas ini masalah niskala (misterius)," tutur Putra Yadnya. Prajuru adat dan warga desa Temuhun masih merundingkan segala sesuatu terkait kasus ditemukannya kembali pratima yang hilang itu. Warga kemungkinan besar akan melakukan prosesi penyucian terhadap pratima yang telah kembali itu, tutur I Nyoman Layar. Sanksi Adat Namun, ditemukannya pratima itu tidak membuat kegeraman para tokoh adat dan agama di Bali terhadap para pencurinya reda. Mereka sepakat, selain mendapat tuntutan dari penegak hukum, sanksi adat hendaknya juga layak dikenakan kepada para pelaku. Kriminolog Bali Gde Swardana SH yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana mengatakan, sekalipun pelaku yang tertangkap sudah mendapat hukuman sesuai KUHP namun sanksi adat perlu dilakukan untuk memberikan efek jera. Untuk itu, katanya, bisa dilakukan kontak antar-desa adat untuk memastikan bahwa para pelaku juga akan mendapat sanksi adat. Ia mencontohkan, banjar A yang mendapat sasaran pencurian, bisa mengontak banjar B yang merupakan daerah asal tersangka. "Setelah mendapat laporan, meski tidak menjadi korban namun banjar B bisa melakukan tindakan hukum adat sehubungan ulah warganya," katanya. Hukuman, katanya, bersifat pembinaan atau denda adat, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di adatnya masing-masing atau bisa juga dengan semacam dikenakan "pengucilan" terhadap tersangka. Bendesa Agung Majelis Desa Pakraman Bali Agung Arnawa mengatakan, mengingat modus komplotan pencuri selama ini yang tidak beraksi di daerahnya sendiri, maka dalam pemberian sanksi adat, yang memegang peranan adalah desa atau wilayah asal para pelaku. Dengan kata lain, meski tidak dirugikan secara materi, desa adat asal pelaku semestinya tidak berpangku tangan. "Bersama-sama dengan desa lain yang menjadi korban, mereka harus berperan maksimal agar kasus pencurian pratima ini tidak terus berulang," kata Arnawa. Bisa juga pelaku dituntut meminta maaf secara langsung, atau melakukannya secara tidak langsung dengan mengganti kerugian material serta kewajiban lain seperti sembahyang dan menggelar upacara pembersihan.(*)

Oleh Oleh I Ketut Sutika
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008