Jakarta (ANTARA News) - Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tidak optimal menjadi salah satu penyebab utama bencana banjir dan longsor yang terjadi di beberapa daerah belum lama ini. Mengingat intensitas curah hujan harian saat banjir menyapu daerah sepanjang aliran Bengawan Solo di Jateng dan Jatim serta beberapa tempat lainnya normal, besar kemungkinan kondisi itu diakibatkan oleh degradasi lahan di semua DAS, kata Guru Besar Konservasi Tanah dan Air IPB, Prof. Dr. Naik Sinukaban, pada Lokakarya Banjir dan Tanah Longsor di Jakarta, Selasa. Degradasi DAS, menurut dia, menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis, menurunnya kapasitas infiltrasi, dan meningkatnya koefisien aliran permukaan sungai. Itu semua di antaranya karena penggunaan dan peruntukan lahan yang sudah menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah dan Tata Ruang Daerah (RTRW/RTD) di dalam DAS. "Daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung banyak yang dialihfungsikan menjadi areal pertanian, sedang hutan produksi disulap menjadi permukiman dan areal pertanian. Kondisi itu semakin diperparah oleh perencanaan RTRW/RTD yang tidak seluruhnya didasarkan pada kemampuan lahan." Tidak adanya UU Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan seluruh masyarakat menerapka teknik konservasi tanah dan air secara memadai setiap menggunakan lahan juga ditudingnya menjadi penyebab degradasi lahan di DAS. Sementara Prof. Dr. Totok Gunawan dari Fakultas Geologi UGM, menilai aktivitas manusia menjadi penyebab utama kerusakan DAS yang berujung pada datangnya bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Yang tidak kalah pentingnya, menurut dia, karakteristik bentuk DAS yang besar pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya banjir. "DAS Citanduy, Serayu, Bengawan Solo, dan Citarum diketahui memiliki bentuk segitiga terbalik yang rawan bencana banjir. Dari keempat DAS itu, hanya Citarum yang posisinya vertikal, sedang tiga lainnya horizontal." Mengingat kompleksnya permasalahan yang mendera DAS, terutama daerah hulu, menurut dia, konsep pengelolaan DAS terpadu memerlukan sebuah payung hukum dalam bentuk PP atau Keppres. Sementara sistem dan standar operasi prosedur pengendalian banjir dan tanah longsor dapat ditetapkan dalam bentuk keputusan menteri kehutanan. Sekjen Dephut, Boen Purnama, mengakui bahwa sampai saat ini belum ada instansi yang secara khusus mengelola DAS, sehingga kawasan ini menghadapi permasalahan seperti degradasi hutan da lahan, erosi dan sedimentasi, pencemaran, koordinasi antarlembaga lemah, dan munculnya konflik kepentingan antara hulu dan hilir. Akibat tekanan yang berlebihan, menurut dia, luas areal kritis di 282 DAS mencapai 6,9 juta hektare, sedang areal yang sangat kritis mencapai 23,3 juta hektare. Bencana alam yang melanda Jawa Tengah selama 17 Desember 2007 - 3 Januari 2008 telah menyebabkan 91 orang meninggal dunia, luka berat 74 orang, dan luka ringan 15 orang. Sementara itu, sedikitnya 29.048 hektare tanaman padi di 17 kabupaten di Jawa Tengah terendam air. (*)

Copyright © ANTARA 2008