Denpasar (ANTARA News) - Sebanyak 15 lukisan karya almarhum dr Anak Agung Made Djelantik menjadi koleksi Museum Arma di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. "Sedikitnya 15 dari 60 karya kanvas yang dihasilkan almarhum selama enam tahun menjelang akhir hayatnya dipajang dalam pameran tetap di Museum Arma," kata Dr dr AAA Bulantrisna Djelantik, SPTHT, putri sulung almarhum dr Djelantik di Ubud, Rabu. Menjelang dibukanya pameran tetap tersebut oleh budayawan Bali Prof Dr Made Bandem, ia mengatakan, pameran tetap dalam satu ruangan khusus di Museum Arma merupakan sebuah kehormatan dan penghargaan bagi almarhum beserta keluarganya. "Saya menyambut baik gagasan Yayasan Walter Spies Internasional bekerjasama dengan Museum Arma untuk menggelar pameran permanen yang khusus menyuguhkan karya-karya almarhum dr Anak Agung Made Djelantik," ujar Bulantrisna, putri sulung dari lima bersaudara. Materi pameran tetap tersebut setiap periode tertentu bisa diganti dengan karya almarhum lainnya, mengingat ke-45 karya lainnya masih disimpan dengan baik dan sengaja tidak diperjualbelikan. Ketua Yayasan Walter Spies yang berpusat di Jerman, Horst Jordt didampingi Ketua Yayasan Walter Spies Bali Anak Agung Gde Rai yang juga pemilik Museum Arma mengatakan, karya-karya almarhum erat kaitan dengan perjalanan hidup sosok Walter Spies (alm) warga negara Jerman yang telah memperkenalkan Bali kepada dunia internasional di era 1930-an. Pembukaan pameran tetap tersebut diawali dengan upacara secara ritual yang dipimpin oleh Ida Gede Putra Telabah dari Geria Kerobokan, Denpasar. Dokter AA Made Djelantik, dosen Universitas Udayana, putra kelahiran Karangasem, semasa hidupnya sangat peduli terhadap seni budaya. Lewat pameran tetap menampilkan karya-karya almarhum AA Made Djelantik tersebut bermaksud memperingati kehidupannya sebagai salah seorang putra Bali yang telah mengabdikan diri untuk kemanusiaan, sebagai dokter dan budayawan. Sosok Walter Spies yang menjadi inspirasi bagi almarhum AA Djelantik dalam menghasilkan karya kanvas menurut pemilik Museum Arma, Anak Agung Rai, sangat berjasa dalam mempromosikan Bali di tahun 1930-an kepada dunia barat, hingga akhirnya Bali kini dikenal mancanegara. Upaya itu dilakukan dengan mengajak seniman tabuh dan tari Bali untuk mengadakan lawatan ke berbagai negara Eropa. Demikian pula seniman lukis dan patung dibina sedemikian rupa dengan tetap berpijak pada akar seni budaya Bali. "Karya-karya seniman Bali juga dipamerkan di kota-kota bergengsi di berbagai negara di belahan dunia antara lain Paris, padahal kala itu Indonesia belum merdeka," kata Agung Rai yang juga ketua Yayasan Walter Spies Bali. Berkat keberhasilan Walter Spies membangun "jembatan" yang menghubungkan Bali dengan dunia barat, menjadikan para imluwan dan peneliti dunia tertarik untuk datang ke Pulau Dewata. Salah seorang di antaranya adalah Miguel Covarrubias, seorang penulis, pelukis dan antropolog kelahiran Meksiko. Lewat bukunya berjudul "Island of Bali", Covarrubias memperkenalkan pesona seni budaya dan tari Bali kepada dunia barat. Agung Rai berharap, melalui pameran perjalanan hidup sosok Walter Spies yang ruangannya bersebelahan dengan tempat memajang karya goresan AA Djelantik mampu memberikan pengalaman dan pengetahuan baru kepada masyarakat Bali, khususnya kalangan generasi muda, bahwa dikenalnya Bali oleh dunia internasional melalui proses yang cukup lama. Walter Spies seperti warga negara Jerman lainnya ditangkap di Indonesia oleh penjajah Jepang dan diasingkan ke Pulau Nias sebelum dibawa ke Srilanka. Namun Walter Spies meninggal akibat kapal yang membawanya ke Srilanka tenggelam di perairan Pulau Nias, kata Agung Rai.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008