Jakarta (ANTARA News) - Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan bahwa virus Turnip Mosaic (TUMV) yang menyerang tananam sawi dan oleh Departemen Pertanian dinyatakan belum ada di Indonesia, ternyata sudah menyebar di sejumlah wilayah di dalam negeri. Pakar virus tanaman dari Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Sri Hendrastuti Hidayat PhD, pada Senin mengatakan, berdasarkan Kepmentan No.38 tahun 2006, TUMV digolongkan dalam organisme pengganggu tanaman karantina (OPTK) golongan A1 yang berarti belum pernah dilaporkan keberadaannya di Indonesia. "Namun dari hasil survey yang kami lakukan, inveksi virus Turnip Mosaic terjadi di beberapa daerah pertanian sayuran di Indonesia," katanya. Virus tersebut ditemukan pada tanaman ciaisim dan pakchoi, sejenis tanaman sawi di beberapa wilayah seperti di Lampung, Bengkulu, Pontianak, Balikpapan, Samarinda, Poso dan Donggala dengan persentase infeksi hingga 83 persen. Sebelumnya, virus yang mengakibatkan kerusakan daun dan mengganggu pertumbuhan tanaman tersebut juga ditemukan telah menyebar di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pada sekitar 2004. Oleh karena itu, tambahnya, Departemen Pertanian seharusnya melakukan revisi terhadap Kepmentan no 38/2006 dan tidak lagi memasukkan TuMV dalam OPTK golongan A1 namun diturunkan menjadi A2 atau dikeluarkan dari daftar OPTK karena sudah ditemukan menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sementara itu Wakil Sekjen Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo), Afrizal Gindow menyatakan, kebijakan Deptan yang memasukkan virus Turnip Mosaic dalam golongan OPTK A1 berdampak pada terhentinya impor benih caisim, sejenis sawi, sejak 2006. "Proses pemasukan benih golongan kubis-kubisan (Brasica) dari luar negeri untuk kebutuhan benih di Indonesia saat ini menemui kendala terkait status OPTK TUMV," katanya. Selama ini untuk kebutuhan benih sawi jenis caisim di dalam negeri yang mencapai 100 ton per tahun masih mengandalkan impor karena komoditas tersebut tidak bisa diproduksi di Indonesia yang beriklim tropis. Afrizal yang juga Direktur Penjualan dan Pemasaran PT East West Seed Indonesia itu mengatakan, terhentinya impor benih sawi tidak hanya merugikan produsen namun juga berdampak pada petani. Jika setiap hektar pertanaman sawi caisim memerlukan benih sekitar 0,5 kilogram, lanjutnya, maka sedikitnya 200 ribu pembudidaya tanaman tersebut tidak bisa lagi mengembangkan usahanya kalau setiap petani mengusahakan 1 hektar. "Dengan dikeluarkannya virus TUMV dari golongan OPTK A1 pemasukan benih sawi dari luar tidak lagi terkendala," katanya sembari menambahkan pasar benih sawi di Indonesia mencapai Rp30 miliar per tahun. Menurut dia, impor benih golongan kubis-kubisan termasuk sawi caisim dari Jepang, China dan Selandia Baru yang merupakan negara produsen benih tanaman tersebut. Namun semenjak ditemukan serangan TUMV setelah negara-negara tersebut dinyatakan tidak aman oleh Deptan maka impor hanya bisa dilakukan dari negara bagian Idaho Amerika Serikat. Afrizal menyatakan, jika impor hanya dari AS tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi di negara tersebut juga terbatas.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008