Jakarta (ANTARA News) - Lembaga riset ekonomi Econit Advisory Group menilai pelaksanaan kebijakan fiskal oleh pemerintah dalam beberapa tahun ini gagal menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas. "Sepanjang tahun 2006-2007, kebijakan fiskal gagal menjadi motor dan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi karena pola pengeluaran anggaran yang sangat lamban dan menumpuk pada akhir tahun," kata Direktur Pelaksana Econit, Hendri Saparini ketika menyampaikan Econit`s Economic Outlook 2008 di Jakarta, Rabu. Menurut dia, penumpukan anggaran yang sangat besar pada akhir tahun 2007 yang mencapai 40 persen merupakan penumpukan terbesar dalam 40 tahun terakhir karena biasanya hanya sekitar 10 persen saja. Pengeluaran dadakan pada akhir tahun, biasanya tidak mencapai sasaran dan rawan penyalahgunaan. "Akibatnya kebijakan fiskal gagal menjadi stimulus sehingga tidak mampu menyumbang sekitar 0,5 hingga 1,0 persen pertumbuhan ekonomi," kata Hendri. Penumpukan anggaran pada akhir tahun dan penggunaan yang dipaksakan pada akhir tahun juga mengakibatkan kebijakan anggaran gagal menjalankan fungsi distribusinya. Pada prinsipnya, penerimaan anggaran berasal dari kelompok dan perusahaan yang lebih mampu untuk membiayai pengeluaran publik dan membantu distribusi pendapatan kelompok menengah ke bawah. "Dengan penumpukan anggaran pada akhir tahun, efektivitas fungsi redistribusi anggaran menjadi sangat rendah," tegas Hendri. Menurut Econit, pemerintah juga gagal mencapai target penerimaan pajak tahun 2007 karena terdapat kekurangan penerimaan pajak sebesar 19 persen. Berdasar catatan Econit, sampai 26 Desember 2007, realisasi penerimaan neto Ditjen Pajak baru mencapai Rp320 triliun (81 persen) dari target APBNP 2007 sebesar Rp395 triliun. "Kekurangan penerimaan pajak sebesar itu belum pernah terjadi selama ini, padahal menurut penjelasan pejabat pemerintah, kondisi ekonomi sudah semakin baik sehingga seharusnya penerimaan pajak juga meningkat," kata Hendri. Obligasi Global Econit juga menilai bahwa penerbitan obligasi global sebesar 2 miliar dolar AS pada awal 2008 untuk pembiayaan APBN 2008, terlalu mahal bebannya dibandingkan dengan obligasi serupa yang diterbitkan Thailand, Philipina, dan Malaysia. "Pemerintah Indonesia kembali menerbitkan obligasi senilai dua miliar dolar AS di New York, tetapi dengan tingkat yield yang sangat tinggi yaitu 6,95 persen untuk yang jangka waktu 10 tahun. Padahal Philipina hanya 6,51 persen, Thailand 4,8 persen, dan Malaysia hanya 3,86 persen," ungkap Hendri. Menurut Econit, penjualan obligasi Indonesia dengan yield setinggi itu merugikan negara karena terdapat premium 3 persen di atas treasury bond. Selain itu, obligasi korporasi terpaksa juga harus menawarkan yield yang tinggi karena obligasi pemerintah akan digunakan sebagai benchmark (acuan). "Padahal tingkat bunga Fed justru cenderung turun dan pemerintah selalu mengatakan ekonomi Indonesia semakin membaik, sehingga seharusnya tingkat yield lebih rendah yaitu maksimum 2 persen di atas tresury bond," kata Hendri Saparini.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008