Oleh Rosihan Anwar Jakarta (ANTARA News) - Prof. DR. Mohammad Sadli dua tahun yang lalu berpesan agar bila dia meninggal dunia, maka saya yang menulis obituarinya. Sadli meninggal Selasa malam, 8 Januari 2008 di Rumah Sakit Cikini, Jakarta karena penyakit ginjal yang dideritanya. Memegang amanah tadi saya sampaikan beberapa hal mengenai dirinya. Sejak 1,5 tahun belakangan kesehatan Sadli memburuk, keluar masuk rumah sakit. Pada perayaan HUT saya ke-85 tanggal 10 Mei 2007 yang digelar PWI Pusat di Manhattan Hotel Sadli beserta istrinya Prof. Dr. Saparinah hadir. Sadli yang usianya satu bulan lebih muda daripada saya tampak segar. Setelah itu dia hilang dari pergaulan sosial. Setiap hari Senin Sadli menulis induk karangan dalam Business News, Jakarta. Meskipun anonim orang segera bisa mengenal gaya dan logika editorialnya. Karena lama sekali tidak ada tulisannya saya telpon menanyakan apakah dia sakit? Sadli menjawab dengan lakonik "Ya, so so". "Kenapa tidak menulis?" tanya saya. "Tidak lagi bersemangat, sudah kehabisan bahan" jawabnya. Sebelum berakhir percakapan kami kedengaran suara Sadli "Thanks for calling". Terima kasih telah menelpon, katanya. Tipikal Sadli, pikir saya santun, gentleman, berimbang, disiplin, tidak punya musuh siapa-siapa. Hubungan penghabisan saya dengan Sadli -- melalui telpon. Dan pertemuan terakhir dirumahnya di Kebayoran Baru tanggal 9 Januari -- melalui tatapan sedih diiringi doa -- terbaring dalam peti jenazah sebelum diberangkatkan ke Taman Makam Nasional Kalibata untuk dimakamkan secara militer. Saya coba buka kain penutup wajahnya untuk berpamit, tapi tidak bisa, karena telah ditutup secara hermetis. Di belakang peti jenazah di sudut rada gelap ruangan tengah duduk tiga ekonom yang melayat yaitu Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Johanes Sumarlin, Prof. Dr. Ali Wardana yang semuanya pernah menjabat sebagai menteri dalam kabinet-kabinet Soeharto zaman Orde Baru. Saya tanya pendapat Widjojo (82) tentang Sadli dan dijawabnya,"Sadli is the greatest Indonesia economist". Ekonom Indonesia paling hebat. "Dan orangnya bersih" ditambahkan oleh Widjojo. Keluar dari mulut Widjojo yang memimpin tim tehnokrat pada awal Orde Baru untuk memperbaiki keadaan ekonomi yang dilanda oleh inflasi hancur-hancuran dan berhasil to turn the economy around, saya tidak berani bertanya lebih jauh. Sadli dan saya sudah lama sekali sama-sama jadi kontributor tulisan dalam Business News. Saya sangat terkesan oleh kemampuan Sadli menulis dengan cepat dan mudah dimengerti, pintar menjelaskan soal-soal ekonomi yang rumit kepada publik awam. Tanpa diragukan Sadli adalah popularisator masalah ekonomi yang serba sulit sehingga mudah dipahami, seorang penulis yang komunikatif. Tidak setiap orang memiliki bakat istimewa tadi. Ketika saya tanya kepada Widjojo dari aliran atau mazhab ekonomi apakah Sadli saya menerima jawaban yang bersifat umum. Ajaran berbagai pakar ekonomi ditelaahnya dan diterapkannya bila cukup relevan. Ketika saya tanya kepada Dr. Sjahrir hal yang sama dijawabnya "Sadli itu keynesian". Maknanya apa? sambung saya. "Sadli tetap menginginkan adanya peran pemerintah dalam pelaksanaan ekonomi Indonesia". Mengenai karir Sadli saya tidak akan berpanjang-panjang. Faktanya berbicara sendiri. Sadli anggota tim penasehat Presiden Soeharto di awal Orde Baru. Kemudian Ketua Badan Penanaman Modal Asing, seterusna Menteri Pertambangan, Menteri Tenaga Kerja, Sekjen KADIN Indonesia, Gubernur Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Karena dia lebih suka low profile dan sebagai menteri jarang berbicara banyak, maka tidak semua orang tahu peran dan sikapnya ketika timbul krisis Pertamina pada tahun 1974 akibat mengadakan hutang di luar negeri yang jumlahnya sangat besar dan tidak ada kemampuan membayar kembali waktu hutang jatuh tempo. Orang kuat dan kuasa di Pertamina waktu itu yakni Letjen (Purn) Dr. Ibnu Sutowo yang menjabat sebagai Dirut Pertamina termasuk tokoh yang tidak bisa disentuh (The untouchable). Tapi diam-diam dan dengan tegas Menteri Pertambangan Sadli memecat Ibnu Sutowo. Tentu setelah berkonsultasi dengan Presiden Soeharto, namun bagaimana pun juga tindakannya itu memperlihatkan format Mohammad Sadli. Waktu jenazah Sadli hendak diberangkatkan ke Kalibata Prof. Dr. Emil Salim mengucapkan pidato perpisahan dan dia menegaskan benar integritas Sadli. Menurut kamus integritas berarti (1) keterpaduan, kebulatan, keutuhan dan (2) jujur dan dapat dipercaya. Setelah sepuluh tahun reformasi berjalan ditempat, integritas itu makin mahal harganya ditengah berkecamuknya korupsi yang tidak bisa dibendung. Emil Salim mengimbau supaya kita mencontoh integritas Sadli. Tapi dapatkah itu kita lakukan, tatkala bangsa ini telah kehilangan arah, bukan secara geografis, melainkan secara etika, moralitas. Angkatan 45 yang oleh Menteri Pertahanan Prof. Dr. Juwono Sudarsono dinamakan Indonesia's greatest generation telah tinggal simbolik belaka. Tidak lagi kekuatan moril, tiada lagi idealisme. "Diketawain" generasi muda. Dimanakah Sadli salah satu Angkatan 45 di zaman revolusi 1945-1949? Dia berada di Yogya. Waktu itu saya belum kenal sama dia. Tapi saya dengar sebuah cerita dari Soedarpo Sastrosatomo yang meninggal 22 Oktober 2007. Sebagai Press Officer Kementerian Penerangan pada akhir 1945 Soedarpo membawa beberapa koresponden luar negeri ke pedalaman untuk menyaksikan sendiri keadaan Republik. Soedarpo datang dengan mobil yang disetirnya sendiri. Ketika mobil diparkirnya di Hotel Merdeka Yogya, keesokan harinya mobil raib. Siapa yang "mengambilnya"? Dua pemuda yang tidak senang sama wartawan luar negeri mencampuri urusan perjuangan Republik. Nama mereka: Imam Santoso Bok (PSI) dan Mohammad Sadli. Penulis adalah wartawan senior, penulis, pendidik, seniman, dan sejarawan sepanjang hidup. Sosok yang layak disebut sebagai simbol kebebasan berpikir.

Oleh
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2008