Padang (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini dinakhodai Antasari Azhar tampaknya mulai lebih serius membidik tersangka pelaku tindak korupsi di berbagai daerah. Keinginan KPK membidik tindakan korupsi di daerah itu terungkap setelah Ketua KPK Antasari Azhar beserta anggotanya, diterima Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita didampingi Wakil Ketua DPD Irman Gusman dan La Ode Ida serta Ketua Tim Pemberantasan Korupsi DPD Marwan Batubara di Gedung DPD/DPR/MPR di Senayan Jakarta, Kamis. La Ode Ida usai pertemuan menyatakan DPD menyambut baik kedatangan pihak KPK. Pertemuan ini adalah untuk menindaklanjuti kesepakatan DPD dengan KPK sejak tahun 2006. Pertemuan ini, kata La Ode Ida, tidak sekadar menguatkan komitmen tetapi juga mendorong adanya aksi nyata dari kesepakatan yang telah dijalin kedua lembaga. DPD akan mendorong masyarakat ikut mewujudkan pengawasan penggunaan anggaran negara dan melaporkannya ke KPK bila ditemukan insikasi penyimpangan anggaran. Antasari mengemukakan, peran DPD dalam pengawasan anggaran negara sangat dibutuhkan, karena KPK menghadapi keterbatasan jumlah personil. Dengan peran DPD diharapkan, dugaan penyimpangan anggaran negara bisa diungkap. Terkait dengan pengungkapan dugaan kasus penyimpangan anggaran di daerah, beberapa waktu lalu, anggota DPD asal Bengkulu Muspani SH telah memelopori aksi dengan melaporkan dugaan kasus korupsi di Propinsi Bengkulu ke KPK. Reaksi Daerah Tindakan Antasari, mantan Kajati Sumbar itu, mendapat dukungan banyak pihak di Kota Padang, Sumbar. Koordinator Divisi Kebijakan Publik LBH Padang, Ardisal mengatakan semangat KPK tersebut harus direspon positif, namun dia mengingatkan hal tersebut jangan hanya terbatas wacana saja tanpa aplikasi. "Keinginan ini telah diungkapkan ketua KPK sebelum ini, namun hingga kini aplikasinya di lapangan belum terlihat masih sebatas wacana saja," katanya. Jangankan untuk membidik kasus-kasus di daerah, katanya, hak KPK untuk supervisi kasus yang tergolong macet ditangani kejaksaan saja hingga kini belum ada aplikasinya. "Banyak kasus macet dari daerah yang dilaporkan dan khusus Sumbar kini terdata 12 kasus tindak pidana korupsi tergolong macet itu, namun hingga kini penyelesaianya masih ngambang," katanya. Lebih lanjut dikatakannya, keinginan KPK tersebut harus direspon positif dan masyarakat pasti menunggu aksi tersebut agar kasus korupsi di negeri ini bisa segera dituntaskan pengungkapannya. Namun, dia memprediksikan bahwa KPK hanya bisa menyelesaikan kasus-kasus korupsi di daerah sekitar 50 persen saja. "Saya tidak terlalu yakin, karena untuk nasional saja banyak kasus korupsi yang membutuhkan perhatian serius," katanya. Terkait dengan keterlibatan DPD dalam hal ini, Ardisal pun mempertanyakannya, karena secara hukum DPD tidak memiliki kewenangan. "DPD itu dalam hal ini sebagai apa, yang jelas barangkali baru sebatas pengawas saja, tapi sejauh mana hal itu perlu kembali dirumuskan," katanya. Ke depan, dia berharap komitmen KPK tersebut perlu terus diingatkan oleh semua pihak karena dia meyakini banyak kasus korupsi di daerah yang memerlukan penanganan serius, termasuk di Sumbar. 12 Kasus Macet Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mencatat 12 kasus tindak pidana korupsi di Sumbar, dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp35 miliar lebih, macet dalam proses penyidikannya pada tingkat kejaksaan. "Ke-12 kasus itu, sudah sampai tahap penyidikan, namun sampai kini tidak jelas prosesnya, dalam artinya dibiarkan mengambang begitu saja," katanya. Bahkan, ujarnya, kasus yang putusannya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap pun ada yang belum dieksekusi oleh pihak kejaksaan, dan perkara ini dikategorikan sebagai kasus korupsi yang macet. Belasan kasus itu yakni eksekusi 33 mantan anggota DPRD Sumbar periode 1999 - 2004, terkait kasus korupsi APBD tahun 2002 dengan kerugian negara sekitar Rp5,9 miliar. Berikut, kasus korupsi mantan Gubernur Sumbar (Zainal Bakar) terkait korupsi APBD provinsi itu tahun 2002 - 2004 dengan kerugian negara Rp5,9 miliar. Padahal kasusnya sudah lama dinyatakan P-21 (selesai disidik), hingga kini tidak digubris lagi. Selanjunya kasus korupsi Depot Pertamina Teluk Bayur 2002 - 2003 yang terindikasi merugikan negara miliaran rupiah, disusul kasus pembangunan terminal truk Solok tahun 2005, melibatkan mantan Walikota (Yumler Lahar). Selain itu, kasus yang tak jelas perkembangannya menyangkut dugaan tindak pidana korupsi APBD Kab. Padang Pariaman tahun 2001, 2002, 2006 dengan kerugian mencapai Rp10 miliar dan melibatkan bupati kabupaten itu. Belum lagi, kasus dugaan korupsi pengadaan komputer di Kab. Pasaman tahun 2004 yang melibatkan anak mantan bupati setempat dengan kerugian negara sekitar Rp1,83 miliar. Selain itu, kasus korupsi macet dalam prosesnya terkait penyimpangan dana APBD Kota Padang tahun 2002 oleh mantan anggota DPRD periode 1999-2004, kerugian negara Rp10,4 miliar. Dugaan korupsi penyimpangan dana APBD oleh mantan wakil rakyat itu tidak saja terjadi di Kota Padang, juga Kab. Solok dengan kerugian negara Rp1,3 miliar, di Kab. Tanah Datar (Rp191 juta), dan Kota Payakumbuh tahun 2002 (Rp1 miliar), penyimpangan APBD Pesisir Selatan tahun 2002-2003 (Rp600 juta), dan di Kabupaten Sawahlunto tahun 2002 (Rp1,2 miliar). "Banyaknya kasus yang macet itu satu pertanda upaya pemberantasan korupsi di Sumbar tidak menunjukkan peningkatan berarti dan dinilai berjalan di tempat," katanya. Entahlah di masa mendatang, setelah KPK dipimpin oleh Antasari Azhar. (*)

Oleh Oleh Abna Hidayati
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008