Magelang (ANTARA) - Perjumpaan dua wisatawan dari Makassar, Sulawesi Selatan dengan sekelompok kawan-kawannya di Candi Borobudur tidak mereka sangka siang itu.

Mereka adalah para mahasiswi kebidanan dari salah satu perguruan tinggi di Makassar yang sedang mengisi waktu senggang dari agenda dua bulan praktik lapangan di berbagai tempat layanan bidan mandiri di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Maria Sulastri Padut dan Maria Adelheid Mba, dua wisatawan tersebut, tidak bergegas mencapai puncak candi Buddha terbesar di dunia di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, sebagaimana kawan-kawannya.

Ketika lainnya seakan bergegas meniti ratusan anak tangga candi untuk mencapai lantai tertinggi bangunan warisan budaya dunia itu, lalu berswafoto dan menikmati pemandangan alam sekitar dari tempat tinggi itu, Lastri dan Adel terlebih dahulu menelusuri lorong demi lorong candi.

Mereka berusaha dengan asyik menemukan kisah Lalitawistara dalam relief bertutur kelahiran Sidharta Gautama. Dalam ajaran Buddha, sejarah kehidupan Sidharta dicatat mencapai tataran kesempurnaan sebagai Sang Buddha Gautama.

Informasi atas bagian dari 120 relief kisah Lalitawistara itu diperoleh keduanya dari penuturan induk semang, tempatnya praktik lapangan kebidanan di Secang, Kabupaten Magelang. Bahwa, ada narasi tentang persalinan di dinding Candi Borobudur yang dibangun dari tatanan dua juta batuan andesit, sekitar abad ke-8, masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu.

Tentu saja kisah persalinan Sidharta yang tercantum di relief Borobudur itu menarik perhatian dua mahasiswi yang berkampung halaman di Pulau Flores tersebut. Lastri dari Manggarai Timur, Adel dari Ende. Ihwal itu karena di kampusnya, Akademi Kebidanan Sandi Karsa Makassar, mereka menggeluti pendidikan profesi tersebut.

Kisah Lalitawistara, antara lain tentang perjalanan Ratu Sri Mahamaya (Dewi Maya) dari Istana Kerajaan Kapilawastu menuju Taman Lumbini untuk melahirkan bayinya, Sidharta Gautama. Dewi Maya dikisahkan melahirkan Sidharta di bawah pohon Sala.

Lastri dan Adel, keduanya pun berhenti sejenak waktu di salah satu bagian lantai tiga candi itu dan beroleh kelegaan ketika mendapatkan relief tentang persalinan.

Gestur mereka menyimak relief kelahiran Sidharta bagai mempertemukan narasi persalinan yang tertera di kepalanya dengan pancaran imajinasi relief Lalitawisatara. Relief Lalitawistara bagian dari kebesaran Candi Borobudur yang juga warisan budaya bernilai tinggi dari nenek moyang bangsa Indonesia.

"Kami mendapat cerita lebih dahulu sebelum ke Borobudur. Jadi kami tahu apa yang hendak kami dapatkan di Candi Borobudur," ujar Lastri.

Begitu pula dengan kelegaan berkunjung ke sejumlah tempat lain dalam rangkaian dua bulan agenda utama di Magelang untuk menjalani tahapan pendidikan mereka.

Sebagai pemeluk Katolik yang kuat dan bermodal narasi yang diperoleh, mereka juga berkunjung ke Pertapaan Rawaseneng, kompleks biara para rahib Ordo Trapis di Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Mereja juga ke Sendangsono, tempat ziarah di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta dan pemakaman Romo Van Lith di Kerkof Muntilan, Kabupaten Magelang. Kedua tempat itu bernarasi saling terhubung. Kisah Sendangsono pada masa lampau juga terhubung dengan Candi Borobudur.

Polah tingkah mereka berwisata ke sejumlah tempat di Magelang dan sekitarnya membuktikan bahwa promosi objek wisata tak cukup hanya mendatangkan informasi di tataran etalase atau poster-poster yang viral di media sosial.

Namun, keandalan bernarasi secara langsung orang per orang, lebih mendalamkan daya pikat kunjungan. Hal itu pula yang menjadikan perilaku orang berwisata makin komplit, beragam, dan berkedalaman, bukan sekadar datang ke suatu objek, berswafoto untuk diviralkan, berkuliner, melihat suguhan atraksi wisata, lalu pulang bersuvenir.

Dibutuhkan pula orang-orang berpengetahuan mumpuni atas suatu objek wisata dan berkemampuan menarasikannya secara menarik. Kekuatan narator bukan hanya ditimpakan kepada pemandu wisata, tetapi juga perorangan lainnya terkait dengan suatu objek wisata.

Suvenir Memori
Pak Ipang, salah satu pegiat Komunitas Lima Gunung, membawa pulang suvenir memori berupa narasi atas kunjungannya ke sejumlah tempat di Kamboja, belum lama ini.

Ipang yang nama aslinya Pangadi yang juga Kepala Dusun Wonolelo, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang itu, diajak budayawan Sutanto Mendut berwisata ke Kamboja.

Tentu Ankor Wat di Kamboja yang kondang itu sebagaimana tenarnya Candi Borobudur di Indonesia, menjadi tempat yang tak lepas dari objek kunjungan Pak Ipang dan Tanto Mendut.

Unggahan foto dan video lawatan mereka marak di media sosial terbuka dan tertutup di grup komunitas yang anggotanya para seniman petani desa-desa di kawasan lima gunung di Magelang, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh.

Tak hanya rekaman atas bangunan Ankor Wat hingga detail dan macam-macam narasi Sutanto, namun juga aktivitas wisatawan umum maupun para biksu di Ankor Wat, banyak mereka unggah dan dikisahkan ke media sosial.

Kalau untuk menikmati suasana semarak kota, restoran, kafe, hotel representatif di Kamboja, termasuk berswafoto, itu hal yang sudah pasti dilakoni orang desa sebagaimana Pak Ipang dan pengajaknya, Sutanto Mendut.

Namun, bukan Tanto Mendut kalau tidak menurunkan keandalan bernarasi dalam suatu kunjungan untuk lebih mendalamkan pesan termemori sebagai suvenir penting.

Ia berkunjung ke Kamboja dengan berbagai pengetahuan atas negeri yang salah satu warisan budayanya yang penting itu, Ankor Wat, tidak lepas dari kisah tentang Candi Borobudur.

Oleh karena tuk tuk (armada transportasi umum Kota Phnom Penh, Kamboja) yang membawanya, mereka pun juga berkunjung ke pasar-pasar sampai menyusuri desa-desa, hingga tempat tinggal pengemudi tuk tuk yang bernama Ros.

Dipastikan pembicaraan antara Ros dan dua wisatawan dari Magelang itu melahirkan rentetan kisah bukan hanya soal Ankor Wat yang megah, namun juga materi lain, seperti kehidupan masyarakat pedesaan di Kamboja dan berbagai cerita kehidupan sehari-hari lainnya. Kiranya, itu jalan berwisata dengan wisatawannya yang berperspektif.

Selain menyantap suguhan makanan seadanya dari pemilik rumah sederhana berbentuk panggung dengan sekat-sekat kain untuk pembagian kamar, mereka juga melihat-lihat foto-foto di dinding rumah yang menjadi narasi kenangan keluarga Ros atas rezim di Kamboja masa lalu.

Narasi dari Ros tentang keluarga dan desanya menjadi memori pengetahuan tataran rakyat yang kiranya juga daya pikat yang menarik untuk pelawat khusus, sebagaimana budayawan Sutanto Mendut.

Sedangkan bagi Pak Ipang, perjalanan ke salah satu desa di Kamboja itu menjadi kesempatan berharga karena selain berwisata, ia juga studi komparasi terkait dengan komunitas desanya di Magelang yang dihidupi bersama-sama pegiat lainnya.

"Naluri pejalan maunya keluyuran tapi juga perindu kuat pulang rumah. Permintaan pejalan tua yang diulang-ulang. Ini wisatawan bohemian," tulis Tanto Mendut dalam akun medsosnya.

Mereka-mereka sebagian kecil wisatawan yang bukan sekadar melakukan kunjungan ke suatu objek, namun mencari kedalaman dan kekayaan narasi atas lawatan.

Tidak ada yang salah dengan semakin marak bermunculan objek wisata di berbagai daerah di Indonesia selama ini. Ujung-ujungnya untuk membangun kesejahteraan masyarakat.

Terlebih adanya Program Dana Desa dari pemerintah pusat, hal itu menjadi salah satu kekuatan penting pemerintah desa menggali potensi lingkungannya untuk disulap menjadi objek wisata.

Begitu pula dengan berbagai objek wisata unggulan di setiap daerah. Para pengelola dan masing-masing pemerintah daerah terus berbenah dan mengembangkannya untuk memikat kunjungan.

Kiranya, mereka tak lagi cukup hanya menyiapkan objek, menawaran potensi, meningkatkan kualitas pelayanan sumber daya pengelola, dan memperkuat relasi antarpemangku kepentingan.

Hal tak kalah penting, yakni membangun narasi atas objek wisata secara tidak berkesudahan. Itu modal mengisi kepala wisatawan untuk beroleh suvenir memori yang makin kaya dan bernilai atas kunjungannya.

Suvenir narasi bagaikan pencatu daya untuk wisatawan berdatangan dan mengulang pengalaman kunjungannya karena selalu merasa beroleh tambahan kekayaan nilai hidup.

Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019