Jakarta (ANTARA) - Pakar pengelolaan udara dan limbah Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Enri Damanhuri menilai dampak polusi udara dari operasional tol Trans Jawa tidak terlalu signifikan ketimbang polusi dari industri.

"Yang saya tahu pembuatan tol semacam itu sudah ada analisa dampaknya. (Dampaknya) Tetap ada, tetapi tidak signifikan dibandingkan kita tinggal di dekat pabrik," katanya di Jakarta, Kamis.

Ditemui usai diskusi rangkaian gerakan Plastic Reborn #BeraniMengubah yang diinisasi Coca Cola Indonesia, ia menjelaskan polusi dari kendaraan dikategorikan pencemaran udara bergerak.

Dengan beroperasinya tol Trans Jawa, kata dia, arus kendaraan yang membawa polusi udara pasti meningkat, tetapi emisi gas buang sudah sedemikian ditekan melalui bahan bakar.

"Kendaraan menghasilkan pencemaran itu kan tergantung bahan bakarnya. Sekarang yang menggunakan Pb (timah hitam/timbal) sudah sedikit. Sudah ada Pertamax, Pertalite, dan sebagainya," katanya.

Dari aspek bahaya polusi, lanjut dia, posisi tertinggi bahan bakar paling tidak ramah lingkungan adalah batubara, disusul bahan bakar cair (BBM), dan gas yang paling ramah.

"Batubara itu dipakai pembangkit listrik, industri. Banyak industri, seperti tekstil menggunakan batubara karena paling murah. Hampir semua industri," katanya.

Untuk mengurangi polusi dari BBM, kata dia, pemerintah juga sudah mulai mengupayakan pengalihan bahan bakar kendaraan ke gas yang lebih ramah lingkungan.

Dibandingkan dampak polusi dari beroperasinya tol Trans Jawa, ia masih lebih khawatir dengan dampak polusi dari keberadaan industri.

Meskipun di sisi lain, Enri mengakui keberadaan tol Trans Jawa juga semakin memunculkan pusat-pusat industri baru dengan semakin lancarnya akses transportasi.

"Itu lain lagi. Tetapi, kan keinginan kita pertambahan ekonomi. Di sana ada pertumbuhan industri, masyarakat tidak lagi urbanisasi ke Jakarta. Kan lebih baik. Pilihan itu," katanya.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019