Bandarlampung (ANTARA News) - Perdebatan yang tetap mengemuka tentang reformasi internal di tubuh TNI sampai sekarang, meski telah digulirkan sejak tahun 1998 lalu, adalah apakah reformasi yang dirancang secara konseptual, kontekstual dan gradual itu berhasil, menakjubkan atau justru mandek?. Tanggapan mengenai kesuksesan reformasi militer Indonesia itu masih kerap berbeda antara pengamat politik dengan pimpinan TNI, meski secara nyata harus diakui bahwa TNI telah bertahap melakukan reformasi internal. Gurubesar ilmu politik Universitas Columbia New York, Prof Alfred C Stepan, tahun lalu memberikan pujian atas reformasi internal TNI. Menurut penilaiannya, reformasi internal TNI itu berlangsung menakjubkan, seperti tidak lagi memiliki kursi di DPR meski memiliki jatah hingga tahun 2009 serta melepaskan dwifungsi ABRI (sospol). Padahal di beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Laos, Vietnam, Thailand dan Myanmar, justru militernya melakukan kudeta. Ia juga menilai kecil kemungkinan militer Indonesia mengkhianati reformasi internal itu karena adanya kontrol dari kekuatan organisasi sipil besar, seperti NU dan Muhamadiyah. Jika reformasi internal TNI dilihat dari sisi politik praktis atau perubahan struktur TNI semata, maka analisa Prof Stepan itu tentu bisa dibenarkan, karena TNI sudah melakukan reformasi yang luar biasa atas fungsi politiknya. Pada era Orde Baru, ABRI (TNI/Polri) adalah kekuatan utama di dalam negeri, terutama di bidang sosial politik dan ekonomi. Prajurit TNI dibenarkan menduduki berbagai jabatan strategis di semua lapisan di lembaga pemerintahan, Judikatif maupun legislatif, sementara perannya di ekonomi juga sangat kuat dengan adanya perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh yayasan-yayasan ABRI. Pascatumbangnya pemerintahan Orba dengan digulirkannya reformasi internal TNI tahun 1988, TNI telah melakukan terobosan yang besar dengan meninggalkan politik praktis, sehingga politik TNI adalah politik negara. Berdasarkan reformasi itu, TNI tidak lagi menduduki jabatan eksekutif atau legislatif. Setiap anggota TNI yang menduduki jabatan di luar struktur TNI, Dephan, Lemhannas dan hakim militer MA, harus pensiun dari dinas aktifnya di TNI, sementara anggota militer yang melakukan pelanggaran hukum sipil dapat diadili di peradilan umum. Dengan kata lain, TNI telah melakukan sebagian reformasi internal berdasarkan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Meski kalangan pengamat politik luar negeri memuji keberhasilan reformasi internal TNI (reformasi struktur), sementara pengamat politik dalam negeri melihat reformasi itu (reformasi kultur) sangat lamban, bahkan terkesan mandek. Perbedaan pendapat itu hendaknya tidak ditanggapi antusias atau ditolak secara mentah- mentah oleh pimpinan TNI. "Kita jangan terbuai oleh pujian, supaya tidak lalai membangun TNI yang kuat. Militer yang disegani oleh kekuatan regional dan global bahkan dapat menjadi kekuatan pendukung upaya diplomasi kita yang masih sering keteteran," kata senior TNI, Letnan Jenderal (Purn) Suaidy Marasabessy. Berbicara tentang reformasi internal TNI, maka ada dua hal yang perlu direformasi, yakni struktural dan kultural. Reformasi struktural sudah banyak dilaksanakan, walaupun hal itu masih terus berproses hingga sekarang, dan reformasi inilah yang menjadi dasar pujian pihak luar negeri. "Padahal, reformasi internal TNI dikatakan berhasil bila reformasi kultural telah berjalan dengan baik, dan hal itu terletak pada sejauh mana `jatidiri TNI` dapat diwujudkan oleh negara dan Mabes TNI, serta dilaksanakan para prajurit di lapangan," kata mantan Kasum itu. Menurut UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, jatidiri TNI itu adalah tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional. TNI memang tentara rakyat karena keanggotaan TNI berasal dari rakyat, sementara perwujudan sebagai tentara pejuang dan tentara nasional sangat tergantung pada kemampuan negara untuk membangun tentara yang profesional. Sehubungan dengan itu, Suaidy mengatakan bahwa reformasi internal TNI belum berhasil diwujudkan jika militer belum profesional. Tanpa profesionalisme, maka reformasi internal TNI itu hanya pada aspek fisik saja, padahal aspek nonfisik juga sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas TNI. Menuntaskan reformasi internal Mantan Menhankam/Pangab Jenderal (Purn) Wiranto dan mantan Kaster TNI yang kini menjabat Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono adalah tokoh utama yang menggulirkan konsep reformasi internal TNI pada tahun 1988. Presiden Yudhoyono dalam sambutannya pada HUT ke-62 TNI tahun 2007 di Jakarta, menginstruksikan agar TNI menuntaskan reformasi internalnya sebagai upaya mewujudkan TNI yang profesional, kredibel dan handal. "Tahun 2008, genap sepuluh tahun reformasi TNI. Saya instruksikan kepada seluruh pucuk pimpinan TNI untuk mengevaluasi reformasi yang telah dilaksanakan selama ini," kata Presiden. Menurut UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, tentara profesional itu adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Berkaitan dengan upaya membangun tentara yang profesional, Mabes TNI setiap tahun melakukan rapat pimpinan, dan dalam rapat itulah dibahas hal-hal yang bersifat strategis. Rapim TNI tahun 2008 dilaksanakan mulai (23-24/1), yang akan dibuka Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso. Ia akan memberikan pengarahan sekaligus paparan kebijakan TNI sepanjang tahun 2008, termasuk langkah-langkah pencapaian yang akan dilakukan. Presiden Yudhoyono juga direncanakan memberikan pengarahan pada hari kedua Rapim TNI itu. Mengenai reformasi internal TNI, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono -- dalam bukunya "Kepada Almamater" yang diterbitkan Akademi Militer Magelang -- mengatakan bahwa TNI konsisten dengan koridor reformasi yang terarah, sistematik dan terkendali. "Harus dipahami oleh seluruh prajurit bahwa reformasi tidaklah persis sama dengan revolusi. Revolusi adalah perubahan yang cepat, dramatik, mendasar dan menyentuh struktur sosial, politik, ekonomi dan keamanan," kata lulusan Akmil 1973 itu. Ia juga menyebutkan bahwa reformasi itu harus pula menyentuh dimensi kultur dan struktur. Reformasi internal TNI memang bukan semata tugas militer untuk mewujudkannya, karena pemerintah, DPR dan semua komponen masyarakat lainnya juga berperan untuk mendorong keberhasilan reformasi alat negara di bidang pertahanan itu. Secara kuantitas memang TNI telah menerapkan sebagian yang diamanatkan UU No 34 tentang TNI, seperti tidak berbisnis, tidak berpolitik praktis sehingga kurikulum pendidikan militer direvisi dengan menghapuskan materi yang berkaitan dengan peran TNI sebagai kekuatan sosial-politik, serta melaksanakan peradilan sipil bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran hukum sipil. Namun secara kualitas, reformasi internal TNI masih belum memuaskan banyak kalangan, dan hal itulah yang paling sering mendapatkan sorotan dari masyarakat dan pensiunan militer, seperti kedisiplinan, profesionalisme, ketaatan atas hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia. Sehubungan itu, sebagaimana disebutkan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, reformasi internal TNI harus benar- benar tuntas, baik secara kuantitas maupun kualitas, di tahun 2008.(*)

Oleh Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008