Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah korban pelanggaran HAM semasa Orde Baru menyatakan menolak mengibarkan bendera setengah tiang yang dimaksudkan sebagai penghormatan bagi wafatnya mantan Presiden Soeharto. Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Minggu Sore, korban pelanggaran HAM juga menolak upacara resmi kenegaraan untuk Soeharto, mengingat statusnya sebagai terdakwa yang belum terkoreksi melalui proses yang sah dimata hukum. "Harusnya tidak ada pemakaman resmi kenegaraan, seperti yang dilakukan Chile terhadap diktator Agusto Pinochet, yang saat meninggal status hukumnya tidak berbeda dengan Soeharto," kata Koordinator Kontras Usman Hamid. Pinochet dimakamkan hanya dengan pemakaman kemiliteran dan Presiden Chile saat itu juga menolak untuk hadir. Bagi para korban, pemberlakuan hari berkabung selama tujuh hari dan pengibaran bendera setengah tiang dianggap sebagai suatu bentuk pelecehan bagi nasib mereka yang menunggu keadilan. "Sudah berkali-kali keluarga korban Peristiwa 12 Mei meminta agar tanggal itu menjadi hari berkabung nasional atau Suciwati meminta agar tanggal kematian Munir menjadi hari aktivis HAM, semuanya tidak dikabulkan, Pemerintah harus berhati-hati dalam penetapan hari berkabung ini," papar Usman. Gelar pahlawan terhadap mantan Presiden Soeharto juga merupakan salah satu hal yang ditolak korban tersebut, sampai status hukum Soeharto ditetapkan. "Dia jelas-jelas terdakwa, bagaimana bisa disebut pahlawan," tuntut Usman. Korban yang mewakili berbagai peristiwa pelanggaran HAM semasa Orde Baru antara lain peristiwa `65, peristiwa Talangsari, kasus Tanjung Priok dan Kasus 12 Mei 1998 sore itu berkumpul untuk kembali menuntut agar pemerintah segera memproses keadilan yang mereka tuntut. Dengan meninggalnya Soeharto, para korban tersebut berharap agar pemerintah tidak serta merta mengubur kasus itu. "Kami keberatan kalau kasus hukum ini diabaikan," ujar salah seorang korban peristiwa `65 John Pakasi yang dipenjara selama 12 tahun tanpa melalui persidangan. Sementara mengenai pemberian maaf terhadap Soeharto, para korban tersebut tidak satu suara, ada yang menyatakan dapat memaafkan dengan catatan kasus hukumnya terus diproses dan ada yang tetap mendendam.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008