Jakarta (ANTARA News) - Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) siap mengajukan judicial review atas Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang tidak sesuai dengan ketetapan dunia usaha. "Kadin bahkan bersedia lakukan judicial review dari UUPT yang tidak sesuai dengan ketetapan usaha di dalam dan luar negeri," kata Ketua Umum Kadin Mohamad S Hidayat di Jakarta, Selasa. Hidayat mengatakan, secara umum ketentuan baru dalam UUPT memberikan kemajuan yang cukup berarti. Namun, khusus ketentuan dalam pasal 74 UUPT masih memerlukan penjelasan dalam peraturan pemerintah yang dapat tetap menjamin iklim investasi yang sehat. Keempat ayat dalam pasal tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Corporate Social Responsibility/CSR), ujarnya. Namun, dia mengatakan, konsep awal yang diajukan pemerintah tidak memuat pasal 74 tersebut, bahkan saat dengar pendapat dengan Kadin dan para pemangku kepentingan lain, materi pasal 74 UUPT belum ada. Dia mengatakan, 28 asosiasi pengusaha termasuk Kadin dan Apindo merasa keberatan terhadap RUU PT tersebut. Ketentuan dari pasal tersebut mengandung makna, mewajibkan tanggung jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan kewajiban melaporkannya. Namun, Hidayat mengatakan, lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimaksud pasal 74 UUPT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR dalam pustaka maupun definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga internasional Bank Dunia. Diperkirakan konsep standar CSR yang sedang digodok oleh "International Organization for Standarization" (ILO) akan selesai pada 2009. Tanggung jawab sosial didefinisikan sebagai tanggung jawab sebuah organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku transparan dan etis, konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memerhatikan harapan dari para pemangku kepentingan, sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma perilaku internasional, dan terintegrasi di seluruh organisasi. Dari definisi itu, ada tujuh isu inti tanggung jawab sosial, yaitu lingkungan, hak asasi manusia, praktik perburuhan, pemberdayaan masyarakat, "organizational governance", isu konsumen, dan praktik kegiatan bisnis yang sehat. Namun Hidayat mengatakan, ada inkonsistensi antara pasal 1 dengan pasal 74 serta penjelasan pasal 74 sendiri, dimana pada pasal 1 UUPT memuat tentang komitmen PT untuk berperan serta. Sedangkan pada pasal 74 ayat 1 memuat tentang wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Dia mengatakan, di pasal 1 UUPT CSR bersifat sukarela, tetapi di pasal 74 bersifat kewajiban. Sedangkan pada penjelasan pasal 74 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perseroan adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Berikutnya, dia mengatakan, perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi sumber daya alam. Dengan demikian, menurut Hidayat, jelas tidak ada satupun PT yang tidak berkaitan atau tidak memanfaatkan sumber daya alam. Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan, Rachmat Gobel mengatakan, setuju dengan apa yang disampaikan oleh Ketua Umum Kadin, MS Hidayat, terkait dengan CSR. Rachmat menilai CSR lebih seperti zakat yang tidak wajib hukumnya. Hal tersebut dapat menjadi beban, sehingga perlu ada aturan jelas sehingga terkendali dan implementasi dapat sesuai dengan aturan dan tidak membebani perusahaan. Dia mengatakan, dengan aturan yang tidak jelas banyak orang yang hendak berinvestasi tidak terealisasi. Yang perlu diantisipasi, menurut dia, adalah perusahaan yang sudah untung besar tetapi justru melarikan diri dan tidak melaksanakan CSR. Selain itu, dia juga mengatakan, perlu ada kejelasan dalam pelaksanaan arah CSR, seperti pendidikan misalnya. CSR perusahaan yang berdampak lingkungan harus dipisahkan dari perusahaan yang tidak memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan. "CSR itu zakat, CSR bagian dari ibadah. Kita membangun industri bukan membangun pabrik, dimana kita membangun masyarakat," ujarnya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008