Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia Burhanudin Abdullah memperkirakan inflasi pada 2008 berada di kisaran 6,0 hingga 6,5 persen, atau lebih tinggi dari target yang telah ditentukan, yaitu lima plus minus satu persen. "Realisasi inflasi bias ke arah angka inflasi yang tinggi (dari kisaran 6,0 hingga 6,5 persen)," katanya dalam Rapat Kerja antara Komisi XI dan pemerintah di Gedung DPR, Jakarta, Senin. Dikatakannya, angka pertumbuhan ekonomi akan berada di level bawah dari kisaran 6,2 sampai 6,8 persen pada 2008. Hal ini dikarenakan masih adanya kondisi ekonomi global, terutama di Amerika yang masih terus memburuk. "Tingkat pengangguran di AS mulai meningkat kembali sehingga consumer spending terus menurun dan perkembangan terhadap ekonomi melemah," katanya. Menurut Burhanudin, langkah kebijakan AS saat ini menunjukkan perhatian yang serius terhadap kemungkinan ancaman resesi ekonomi dunia. Hal ini ditunjukkan dalam kebijakan The Fed dengan menurunkan suku bunganya secara agresif dari 4,25 persen menjadi tiga persen pada Januari 2008, serta pelonggaran kondisi pasar uang dan kerjasama beberapa Bank Sentral di negara maju untuk melakukan injeksi likuiditas. Di sisi fiskal ditunjukkan dengan stimulus terhadap permintaan yang telah dilakukan pada Oktober 2007 dilanjutkan dengan pemberian "tax rebate" dan stimulus lainnya mencapai sekitar satu persen dari PDB AS. "Dalam hal ini Bank Indonesia merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi AS pada 2008 yang semula 1,9 persen menjadi 1,5 persen," katanya. Perlambatan ekonomi AS tersebut membawa perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia 2008 menurun dari 4,4 persen menjadi 4,1 persen. "Penurunan pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih dalam dapat dihindari karena pertumbuhan ekonomi di negara emerging market, khususnya China tetap kuat," katanya. Ia mengemukakan penurunan pertumbuhan perekonomian dunia akan berdampak pada pelemahan perekonomian domestik dibanding perkiraan sebelumnya. "Ekspor barang dan jasa tetap tumbuh, meski menjadi sedikit lebih rendah daripada perkiraan semula," katanya. Selain itu, melambatnya ekspor non-migas dan produksi minyak Indonesia juga akan mengurangi surplus transaksi berjalan. Hal ini membuat neraca pembayaran Indonesia meski mencatat surplus, namun lebih rendah dibanding sebelumnya. Menurut dia, hal itu mampu mendorong cadangan devisa 2008 menjadi sekitar 70 miliar dolar AS atau setara dengan 6,2 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. (*)

Copyright © ANTARA 2008