Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Pengelola Aset (BPA) untuk menghindari hilang atau berkurangnya nilai aset hasil tindak pidana yang dirampas oleh negara. Pembentukan BPA itu diusulkan dalam RUU Perampasan Aset yang kini sedang dibahas oleh tim khusus yang dibentuk oleh Departemen Hukum dan HAM. "BPA itu lembaga independen yang bertujuan untuk mengawasi dan mengelola aset yang dirampas oleh negara, sehingga tidak ada lagi cerita bahwa nilai aset yang dirampas hilang atau berkurang," tutur Ketua tim perumus RUU Perampasan Aset, Romli Atmasasmita, di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa. Tim perumus mengadakan pertemuan dengan KPK, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Departemen Luar Negeri, dan Departemen Hukum dan HAM, dan beberapa staf ahli guna membahas RUU Perampasan aset. BPA seperti diatur dalam RUU Perampasan Aset bertugas menerima hasil sitaan atau rampasan yang diserahkan oleh aparat penegak hukum termasuk dokumen pendukung yang berkaitan dengan kepemilikan serta penyitaan dan perampasan aset tersebut. BPA bertugas menjaga dan memelihara aset hasil sitaan atau rampasan agar nilai ekonomisnya terus bertambah atau tidak berkurang secara signifikan, antara lain dengan menempatkan aset tersebut di tempat penyimpanan yang layak, melakukan pemeliharaan berkala, melakukan perbaikan, dan juga membayar kewajiban-kewajiban yang melekat pada aset tersebut. BPA juga bertugas melaksanakan perintah aparat penegak hukum untuk menjual aset tertentu sebelum adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk mencegah berkurangnya nilai aset yang mudah rusak atau tinggi biaya pengelolaannya. Selain itu, BPA juga mengelola dana yang dihasilkan dari penjualan harta rampasan, menerima permintaan bagi hasil dan menetapkan bagi hasil sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam RUU Perampasan Aset, ditentukan bahwa setelah hakim mengeluarkan keputusan berkekuatan hukum tetap bahwa suatu aset dirampas untuk negara, maka sebesar 25 persen dari nilai aset tersebut diberikan untuk lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang terlibat dalam upaya perampasan aset. BPA diusulkan dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggungjawab kepada Jaksa Agung. Kepala BPA diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. "Dalam RUU Perampasan Aset, diatur bahwa setiap pihak dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan BPA," jelas Romli. RUU Perampasan Aset mengatur bahwa aset yang dapat dikenakan perampasan antara lain adalah benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagiannya diduga diperoleh dari tindak pidana. Benda yang telah digunakan atau dipersiapkan untuk melakukan tindak pidana atau menghalang-halangi penyidikan tindak pidana, menurut RUU itu, juga dapat dirampas oleh negara. RUU Pemberantasan Aset mengatur perampasan dapat dilakukan melalui penetapan pengadilan oleh penyidik penuntut umum. Jaksa sebagai pengacara negara dapat mengajukan bukti minimum di depan persidangan untuk membuktikan bahwa aset yang digugat diduga kuat berasal dari hasil tindak pidana. Hakim dapat menilai kekuatan bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa tanpa terikat pada ketentuan alat bukti seperti yang diatur dalam hukum acara perdata. Penilaian hakim selanjutnya diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) paling lambat tiga hari setelah permohonan diajukan dan dalam waktu tujuh hari Ketua PN sudah harus mengeluarkan penetapan yang isinya dapat menolak atau mengabulkan permohonan perampasan aset. Perlawanan terhadap perampasan dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan ke pengadilan dan diputus dalam waktu paling lambat 120 hari melalui mekanisme pemeriksaan perdata. Romli mengatakan, perdebatan yang masih timbul dalam perumusan RUU Perampasan Aset adalah soal berlakunya asas retroaktif sehingga memungkinkan perampasan aset oleh negara dari hasil tindak pidana yang dilakukan sebelum adanya UU Perampasan Aset. "Sampai sekarang soal apakah bisa berlaku surut atau tidak masih kita perdebatkan. Tentunya itu nanti terserah DPR," ujarnya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008