Kediri (ANTARA) - PT Gudang Garam, Tbk, Kediri, Jawa Timur, belum berminat untuk menggarap pasar rokok elektrik, mengingat pangsa pasar rokok ini masih kalangan terbatas dengan daya beli yang juga menengah ke atas.

"Sebagai perokok tetap berpendapat rokok elektrik ya rokok elektrik, rokok ya rokok. Tidak 100 persen sama. Di Indonesia kami sebetulnya sudah persiapkan diri untuk selanjutnya siap-siap melihat perkembangan rokok elektrik. sampai hari ini harga atau uang yang harus dikeluarkan masih lebih banyak, jadi kemungkinan berkisar lebih di kalangan atas," kata Direktur PT Gudang Garam, Tbk, Kediri Heru Budiman di Kediri, Rabu.

Heru ditemui dalam acara rapat umum pemegang saham (RUPS) di Kediri mengatakan, secara pribadi dirinya masih ingin mengetahui berapa lama orang "nempel" di rokok elektrik. Namun, hingga kini dari GG masih belum ada rencana untuk mengembangkan sektor tersebut, terlebih lagi selama ini juga masih impor.

Pihaknya juga sudah mengevaluasi terkait dengan keberadaan rokok elektrik bahkan sejak tiga tahun lalu. Namun, untuk realisasinya karena konsumen dinilai masih relatif kecil, hingga kini perusahaan belum ada rencana ke rokok elektrik.

Terlebih lagi, terkait dengan aturan pemerintah tentang kawasan tanpa rokok tersebut, bagi yang menggunakan rokok elektrik juga masih diperlakukan sama dengan mereka yang merokok batangan, yakni di kawasan tertentu.

Perusahaan, kata dia, masih mempertahankan untuk produksi rokok yang ada, seperti SKM, SKT. Saat ini, produksi rokok di perusahaan juga relatif ada peningkatan. Pada 2017, produksinya adalah 78,6 miliar batang meningkat menjadi 85,2 miliar batang, atau sekitar 8,3 persen.

Ia juga menambahkan, adanya kebijakan cukai yang tidak naik, tentunya juga berimbas positif untuk jangka panjang. Misalnya, dengan menghilangkan tekanan biaya di perusahaan, mengingat saat ini industri rokok mengalami penurunan.

"Tidak naiknya cukai di 2019 ini hilangkan tekanan biaya di tempat kami. Yang adalah keputusan yang mungkin terlihat juga baik jangka panjangnya, karena industri rokok mengalami penurunan. Naiknya cukai tidak mendorong untuk kenaikan harga, atau juga berarti cukai tidak naik kami bisa menaikkan harga dan untung. Ini juga tidak. Cukai tidak naik, daya beli bukan berarti langsung meningkat," ujar dia.

Disinggung terkait dengan jumlah karyawan, Heru mengatakan relatif terjadi penurunan. Di 2018, diketahui dari sekitar 35 ribu karyawan, saat ini menjadi sekitar 33 ribu karyawan. Penurunan ini di semua sektor, dengan berbagai seperti karena pensiun dini maupun kontrak yang tidak diperpanjang karena untuk operasional pekerjaan memanfaatkan mesin.

Namun, dirinya tetap optimistis industri rokok akan tetap bertahan. Dalam RUPS untuk tahun buku 2018, GG membagikan dividen tunai sebesar Rp5.002 triliun, sehingga besar dividen yang diterima masing-masing pemegang saham adalah Rp2.600 per saham. 

Baca juga: Ini penyebab perokok tembakau beralih ke Vave, menurut AVI
Baca juga: DJBC pastikan "vape" kena cukai 57 persen

Pewarta: Asmaul Chusna
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019