Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah anggota DPR RI kembali menyatakan penolakan untuk meratifikasi ASEAN Charter sebelum ada perbaikan konkret pada piagam yang dinilai cacat prosedural dan substansial itu. "Kami tegas dengan itu. `ASEAN Charter` tidak akan diratifikasi oleh DPR RI secara `taken for granted` oleh karena adanya cacat prosedural dan substansial tersebut," tandas salah satu anggota Komisi I DPR RI, Hajriyanto Y Thohari, di Jakarta, Jumat. Anggota legislatif dari Fraksi Partai Golkar (FPG) itu mengungkapkan, sikap dia dan sejumlah anggota DPR tersebut telah pula diutarakan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi I DPR RI Senin (4/1) awal pekan lalu. Dalam RDPU itu, menurut Hajriyanto Thohari yang juga Sekretaris FPG di MPR RI, hadir sejumlah tokoh penting, seperti Ali Alatas (mantan Menlu), Jusuf Wanandi (CSIS), Rizal Sukma (CSIS), Makmur Keliat dan Adijaya Yusuf (UI), Prof Budi Winarno (UGM). "RDPU yang membicarakan tentang Ratifikasi ASEAN Charter itu berlangsung sangat hangat dan produktif," katanya. Dalam forum itu, ia menegaskan bahwa ASEAN Charter tidak akan diratifikasi oleh DPR RI karena mengandung dua cacat, yaitu prosedural dan substansial. Ia memnyebut cacat prosedural karena melanggar Undang Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2000 itu, ditegaskan: "Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal menyangkut kepentingan publik". Bagi Hajriyanto Thohari, ASEAN Charter jelas menyangkut kepentingan publik sebab dikatakan dalam salah satu diktumnya, piagam ini sangat berorientasi pada rakyat. "Makanya, konsultasi dengan DPR RI mestinya dilakukan sejak dini, bukan dua hari menjelang, apalagi setelah penandatanganan oleh kepala negara dalam KTT ASEAN, Nopember 2007 lalu," ujarnya. Dengan tanpa konsultasi ini, demikian Hajriyanto Thoari, DPR RI merasa di-"fait accompli" untuk meratifikasi begitu saja Piagam ASEAN tersebut. "Apalagi, Deplu terlalu lama menginformasikannya kepada DPR RI, setelah penandatanganan charter tersebut," ungkapnya lagi. Hajriyanto Thohari kemudian mengungkapkan cacat kedua yang bersifat substansial, karena isi ASEAN Charter tidak mengandung kemajuan berarti bagi komunitas ASEAN. "Bahkan, bagaimana hubungan ASEAN dengan rakyat tidak jelas diatur dalam piagam ini. ASEAN menjadi terlalu bersifat elitis, dan hanya menjadi urusan elite pemerintah dalam hal ini elite Departemen Luar Negeri saja," tegasnya. Hal ini, menurut Hajriyanto Thohari, tergambar pada tidak adanya konsultasi publik dengan rakyat dan kalangan "civil society" yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rancangan piagam tersebut. "Dengan demikian, Piagam ASEAN ini telah meninggalkan `civil society`. Ini berarti bertentangan dengan semangat Piagam ASEAN yang selama ini didengung-dengungkan oleh pemerintah, yaitu berorientasi pada kepentingan rakyat," tandasnya. Kelemahan lainnya yang merupakan cacat dari substansi Piagam ASEAN, kata Hajriyanto Thohari, adalah terlalu konservatif dalam hal proses pengambilan keputusan. "Bagaimana tidak, semuanya harus dilakukan melalui konsensus dari semua anggota. Jika ada satu negara saja yang tidak setuju terhadap suatu usulan, maka dengan sendirinya usulan tersebut batal. Dengan demikian piagam ini tidak akan membawa ASEAN semakin maju dan progresif dibandingkan dengan aturan lama yang telah berlaku," tambahnya. Sedangkan kelemahan dalam hal substansi yang cukup fatal juga, menurut Hajriyanto Thohari, tidak jelasnya kapan Badan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) ASEAN ("ASEAN Human Right Body") dibentuk. "Road-map" bagi pembentukan Badan HAM ASEAN ini tidak jelas diatur, hanya samar-samar, dan tidak tegas. Pasal 14 dari piagam ini tidak bersifat imperatif, sehingga baru merupakan keputusan prinsip saja. Hal ini akan membuat Piagam ASEAN tidak bergigi terhadap pelanggaran HAM di negara-negara anggotanya," tegasnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008