London (ANTARA News) - Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) akhirnya menurunkan suku bunga acuannya sebanyak 25 basis poin menjadi 5,25 persen dari semula 5,50 persen, seusai pertemuan Komite Kebijakan Moneter yang digelar pada Kamis (7/2), sebagaimana dilaporkan oleh BBC News. Seiring dengan semakin menurunnya tingkat kepercayaan kalangan bisnis dan konsumen terhadap perekonomian Inggris, pengamat perekonomian Inggris, Muslimin Anwar, dalam penjelasannya kepada ANTARA News di London, Jumat, berpendapat bahwa tindakan BoE itu sudah sangat tepat. Berbagai indikator menunjukkan bahwa Negara Ratu Elizabeth II tersebut tengah mengalami perlambatan menyusul "credit crunch" yang melanda dunia dan dampak ikutan dari kebijakan bank sentral ini menaikkan suku bunganya tahun lalu sampai dengan 5,75 persen, ujar doktor Moneter lulusan Brunel University, London, tersebut. Muslimin Anwar merujuk ke hasil survei badan bernama "the Chartered Institute of Purchasing and Supply "yang menyajikan data mengenai tingkat kepercayaan kalangan dunia usaha yang demikian rendahnya terhadap sektor jasa yang selama enam tahun terakhir selalu menunjukkan kinerja yang baik. Kinerja sektor jasa keuangan, yang merupakan salah satu andalan negara ini, sangat terpukul dengan mencuatnya kasus subprime mortgage di AS dan kegagalan serupa yang menimpa bank domestik Northern Rock, tambah ekonom Bank Indonesia yang sering berbicara dalam konferensi internasional di Eropa maupun Asia ini. Banyak perusahaan di distrik keuangan di kota London yang disebut dengan City akhirnya merumahkan pegawainya, menambah jumlah pengangguran terbuka negeri ini, tambahnya. Untuk menghindari resesi ekonomi, penyandang gelar Putera Kampus Indonesia tahun 1993 ini berpendapat bahwa sudah sewajarnya apabila Mervyn King, Gubernur Bank Sentral Inggris itu untuk kedua kalinya dalam tahun ini menurunkan kembali suku bunganya. Mengenai BoE yang tidak mengikuti jejak Bank Sentral Amerika Serikat/AS (US Federal Reserve/the Fed), yang menurunkan suku bunganya secara drastis dari 4,25 persen menjadi 3 persen dalam dua kali sejak awal tahun 2008 ini, mantan salah seorang Mahasiswa Utama di Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan bahwa BoE nampaknya sangat berhati-hati dalam menyeimbangkan faktor-faktor yang diperkirakan akan membuat inflasi berada di bawah target. Saat ini perlambatan ekonomi di Inggris mulai dirasakan, dan faktor-faktor yang diperkirakan akan menaikkan inflasi di atas target, yakni kemungkinan kenaikan harga energi dan bahan makanan. Ekspektasi inflasi semakin terbentuk seiring dengan semakin bertambahnya perusahaan listrik domestik yang menaikkan tarif listrik dan gas bagi pelanggannya. Demikian juga, beberapa harga komoditas makanan mulai merangkak naik baik di Inggris maupun di dunia, ujar Ketua ICMI London ini. Untuk saat ini, penurunan sebanyak 25 basis poin dianggap cukup untuk menjaga inflasi berada di kisaran target yang ditetapkan pemerintah, yaitu 2 persen. Menurut ekonom di Bank Indonesia (BI), apa yang dilakukan oleh bank sentral di Inggris merupakan tindakan cukup cerdas, karena mulai hari ini Bank of England akan melihat bagaimana dampak dari penurunan suku bunga ini terhadap inflasi dalam beberapa minggu atau bulan ke depan. Penurunan suku bunga bank yang lebih agresif, seperti di AS, malah akan mengancam kenaikan harga-harga, misalnya properti, yang justru akan menggangu pencapaian target inflasi. Peraih MBA Finance dari Pittsburgh University, AS, itu memprediksi bahwa BoE masih akan menurunkan suku bunganya tahun ini, apabila perkembangan perekonomian global dan domestik semakin memburuk. "Masih ada ruang untuk menurunkan sukubunga sampai dengan 5 persen dalam beberapa bulan ke depan," katanya. Penurunan suku bunga ini telah disambut baik oleh para pemilik kredit pemilikan rumah dan industri yang memerlukan pinjaman bank untuk investasi, dikarenakan jumlah pembayaran pinjaman menjadi lebih rendah. Disayangkannya tidak semua bank serta merta menurunkan bunga pinjamannya. HSBC, salah satu bank papan atas bahkan telah mengumumkan bahwa penurunan bunga pinjaman tidak akan dilakukan sampai dengan tanggal 7 Maret 2008. "Ini membuktikan paradigma yang berkembang bahwa bank komersial cenderung bersikap asimetris terhadap kebijakan bank sentral," ujarnya. Perbankan lebih reaktif menaikkan suku bunga pinjaman sebagai respon kenaikan suku bunga bank sentral, namun tidak sebaliknya, jelas peraih dua Vice Chancelor Award untuk penelitian dan penyaji makalah terbaik tersebut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008