London (ANTARA News) - Menteri Keuangan Inggris, Alistair Darling, menyatakan bahwa menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral tujuh negara industri maju (AS, Inggris, Jepang, Kanada, Jerman, Itali, dan Perancis) dalam pertemuan G-7 di Tokyo, Sabtu, sepakat melakukan kebijakan untuk menstabilkan kembali ekonomi dunia dari ancaman krisis yang dipicu kasus kredit macet subprime mortgage di AS. Negara-negara G-7 akan melakukan koordinasi aksi untuk mengembalikan kestabilan perekonomian dunia, demikian diberitakan harian terkemuka Inggris Financial Times, Sabtu. Pengamat ekonomi Muslimin Anwar kepada ANTARA di London, mengatakan krisis ekonomi global tak dapat dihindari dan bahkan akan lebih buruk lagi. "Krisis keuangan ini cukup serius dan perlambatan ekonomi dunia sepertinya akan berlangsung lama dan persisten bila langkah strategis tak dapat dirumuskan dan diimplementasikan." Meskipun setuju bahwa koordinasi kebijakan ekonomi G-7 dipercaya akan mempercepat penyembuhan krisis, namun doktor moneter lulusan Brunel University, London, ini menilai bahwa dalam prakteknya akan sulit diimplementasikan. Hal ini, disebabkan dalam salah satu butir komunike bersama yang dihasilkan dari pertemuan di Tokyo yang menghimbau Tiongkok untuk memberikan ruang bagi mata uang Yuan-nya untuk terapresiasi lebih cepat lagi tidaklah efektif. Dengan keunggulan daya saing produknya saat ini yang diakibatkan lemahnya mata uang Yuan, Tiongkok akan berhitung kompensasi apa yang akan diberikan negara G-7 apabila negara ini mengapresiasi mata uangnya.? ujar peraih Vice Chancelor Award dari Brunel University, London ini. "Hal ini sudah dibuktikan sebelumnya, dimana Tiongkok tidak terlalu menganggap penting himbauan yang sama yang dikeluarkan dalam komunike bersama negara-negara G-7 usai pertemuan mereka pada bulan Oktober 2007 yang lalu." Penyandang gelar Putra Kampus Indonesia tahun 1993 yang salah satu hadiahnya berkunjung ke Taiwan itu enambahkan bahwa dunia telah menyaksikan pemerintah Tiongkok tidak melakukan langkah yang diperlukan untuk mengapresiasikan mata uangnya secara signifikan, sehingga himbauan ini diulangi lagi oleh G-7 dalam pertemuan mereka di Tokyo. "Para pemimpin G-7 tetap berpendapat bahwa nilai mata uang Yuan yang melemah dinilai memberikan keuntungan pada negara Tiongkok secara tidak adil, karena memberi dampak pelemahan daya saing produk negara-negara di Eropa dan AS" ujarnya. Selain itu yang menjadi kekhawatiran pria yang pernah menjadi pemimpin delegasi pemuda Indonesia bertemu putra mahkota Jepang di tahun 1994 ini adalah himbauan para pemimpin G-7 di Tokyo kepada negara-negara pengekspor minyak untuk meningkatkan produksinya setelah harga minyak sempat menyentuh 100 dollar per barel pada bulan Januari lalu. "Tidak mudah untuk meminta negara-negara OPEC dan Non-OPEC untuk melaksanakannya mengingat kapasitas produksi dunia saat ini dinilai sudah optimal," ujarnya. Ia menilai negara G-7 telah melakukan sikap yang tidak adil, karena perlambatan ekonomi dunia saat ini bersumber dari kegagalan di pasar perumahan di AS yang dipicu kegagalan lembaga rating dalam merumuskan analisis kredit yang berkualitas dan akurat. Seharusnya negara G-7 menekan AS untuk melakukan reformasi menyeluruh di sektor keuangannya agar krisis kredit perumahan serupa tak terulang lagi yang imbasnya dirasakan di seluruh dunia, ujar Ekonom Bank Indonesia ini. Ia juga menilai bahwa negara-negara G-7 harus bersikap tegas untuk menekan AS agar segera mengakhiri perangnya di Irak dan juga ancamannya terhadap Iran serta sikap tak bersahabatnya dengan salah satu negara penghasil minyak terbesar yaitu Venezuela. Masalah geopolitik, khususnya kecenderungan AS untuk mendikte negara-negara penghasil minyak terbesar didunia tersebut selalu mengundang spekulasi sehingga mendorong ke atas harga minyak dunia, ujar Ketua ICMI London ini. Dunia tengah berharap agar presiden AS terpilih nantinya adalah yang bertolak belakang dengan sikap Presiden Bush dalam beberapa isu yang krusial, yang telah membuat dunia menjaga jarak dengan AS sehingga AS mendapatkan kesulitan baik pada perekonominya maupun hubungan politiknya dengan negara-negara di dunia, ujar mantan Ketua KIBAR ini. Dikatakannya dalam beberapa minggu ke depan, seluruh mata dunia akan terfokus pada proses pemilihan kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat dan Partai Republik. Muslimin Anwar yang meraih MBA di bidang Keuangan dari Pittsburgh University, AS, tersebut yakin penduduk AS akan secara cerdas memilih calon presidennya yang pro perubahan, sehingga perekonomian AS akan kembali pulih dan dunia terhindar dari resesi ekonomi yang lebih parah. (*)

Copyright © ANTARA 2008