Bogor (ANTARA News) - Pengoperasian rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) di Kelurahan Mentang, Bogor Barat, Kota Bogor, tertunda sejak tahun lalu karena PLN APJ Bogor bersikeras menerapkan tarif listrik klasifikasi bisnis (B2) terhadap rumah susun yang diperuntukkan bagi warga berpenghasilan rendah itu. Karena PLN APJ Bogor bersikeras pada sikapnya, Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP) Pemerintah Kota Bogor selaku pengelola Rusunawa mencari solusi lain dengan mengirimkan surat kepada PLN Distribusi Jabar dan Banten. "Kami mengirim surat ke PLN Distribusi Jabar dan Banten di Bandung untuk meminta penjelasan dan kebijaksanaan soal klasifikasi tarif listrik di rusunawa. Karena, Rusunawa diperuntukkan bagi warga berpenghasilan rendah," kata koordinator Rusunawa DTKP Pemkot Bogor, Irfa Sjakira, di Bogor, Minggu. Dijelaskannya, klasifikasi B2 yang diterapkan PLN APJ Bogor penghitungan dayanya dilakukan secara total pada gardu induk yang disalurkan ke Rusunawa, bukan berdasarkan pada masing-masing unit rumah. Padahal, penghuni Rusunawa pemakaian listriknya berbeda-beda sesuai kebutuhkannya, sehingga menyulitkan penghuni dalam pembayaran tagihan listrik bulanannya. Jika PLN menerapkan klasifikasi rumah tangga, kata dia, pemakaian daya listrik dihitung pada tiap unit rumah melalui meteran, sehingga penghuni setiap unit Rusunawa bisa langsung mengetahui pemakaian daya listriknya. "Kami sudah mengirimkan surat itu sejak pertengahan Januari lalu dan masih menunggu jawaban dari PLN Distribusi Jabar Banten," katanya. Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kota Bogor, Teguh Rihananto mengatakan, Komisi B sudah meminta penjelasan soal pengeoperasian Rusunawa kepada DTKP dan soal penerapan klasifikasi tarif listrik kepada PLN APJ Bogor. Dari kunjungan kerja Komisi B di kedua lembaga tersebut, diperoleh kesimpulan, bahwa Rusunawa yang telah selesai pembangunannya sejak tahun lalu sampai saat ini belum bisa dioperasikan, karena belum ada kesepakatan soal klasifikasi tarif listrik. Menurut dia, DTKP selaku pengelola Rusunawa meminta agar PLN menerapkan tarif klasifikasi rumah tinggal (R2 atau R1), tapi PLN menerapkan tarif klasifikasi bisnis (B2). "Saya bisa memahami kenapa DTKP tidak bisa menerima tarif klasifikasi bisnis, karena selain lebih mahal juga dihitung secara total dari gardu induk. Sedangkan tarif klasifikasi rumah tinggal, selain lebih murah juga dihitung satu per satu berdasarkan unit rumah yang ada," katanya. Dengan perbedaan sikap antara DTKP dan PLN APJ Bogor, kata dia, menyebabkan Rusunawa yang telah selesai sejak tahun lalu menjadi terkatung-katung hingga saat ini. Padahal, jika Rusunawa telah dioperasikan, bisa memberikan kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) untuk Pemerintah Kota Bogor. Teguh meminta kebijaksanaan PLN APJ Bogor untuk bisa mengubah tarif klasifikasi bisnis menjadi tarif klasifikasi rumah tinggal. Menurut Irfa Sjakira, sampai saat ini ada sebanyak 160 unit rumah berada di dua blok yang siap dioperasikan. Blok ketiga sedang dibangun, dari seluruhnya empat blok yang akan dibangun. Setiap blok terdiri dari empat lantai yang berisi 80 unit rumah. Tarif sewa dari lantai satu hingga lantai empat masing-masing, Rp250.000, Rp225.000, Rp200.000, serta Rp175.000. "Rusunawa ini diperuntukkan bagi warga Kota Bogor berpenghasilan rendah," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008