Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah melalui kuasa hukumnya, Rabu, mengajukan surat permohonan untuk tidak ditahan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terkait kasus aliran dana BI kepada anggota DPR dan penegak hukum. Pada hari yang sama, Burhanuddin menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dalam kasus tersebut di KPK. Kuasa hukum Burhanuddin, M. Assegaf, mengatakan surat permohonan tidak ditahan akan langsung diserahkan kepada penyidik KPK bersamaan dengan pemeriksaan kliennya. Permohonan tidak ditahan diajukan karena kuasa hukum Burhanuddin tidak melihat alasan yang mendesak bagi KPK untuk melakukan penahanan. "Tidak ada kepentingan mendesak untuk menahan seorang Gubernur BI yang masih aktif," katanya. Selain aktif sebagai Gubernur BI, Assegaf menilai kliennya akan selalu kooperatif dengan setiap langkah hukum yang diambil KPK. Dia juga menegaskan, seluruh keluarga kliennya dan jajaran Dewan Gubernur BI menjamin penyidikan KPK akan lancar, tanpa harus menahan Burhanuddin. Oleh karena itu, Assegaf menganggap KPK tidak perlu khawatir Burhanuddin akan menghilangkan alat bukti atau melarikan diri. Komitmen untuk selalu kooperatif dengan KPK juga diucapkan Burhanuddin ketika tiba di gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan. "Saya berharap bahwa (kedatangan saya) ini akan menjadi contoh ketaatan kepada hukum," kata Burhanuddin. Meski mengajukan permohonan tidak ditahan, Assegaf akan menghormati jika KPK tetap memutuskan untuk menahan kliennya. Dia menyadari tidak ada pihak yang bisa menghalangi KPK jika surat perintah penahanan sudah dikeluarkan. "Itu kan kewenangan dari KPK," katanya. Hingga kini, KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus aliran dana BI, yaitu Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum BI, Oey Hoy Tiong, dan mantan Kepala Biro Gubernur BI, Rusli Simandjuntak, yang kini menjabat Kepala Perwakilan BI di Surabaya. Dari ketiga tersangka, hanya Burhanuddin yang belum ditahan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, kasus itu bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. Oey yang pada 2003 menjabat Deputi Direktur Hukum menerima langsung dana YPPI itu dari Ketua YPPI, Baridjusalam Hadi dan Bendahara YPPI, Ratnawati Sari. Selanjutnya, Oey mencairkan cek dan menyerahkan uang tunai kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo. Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang itu setelah diserahkan kepada mereka. Sedangkan sisanya, senilai Rp31,5 miliar diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Aznar Ashari kepada Panitia Perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Pada pemeriksaan di KPK, mantan Ketua Sub Panitia Perbankan Komisi IX DPR, Antony Zeidra Abidin, yang disebut menerima uang itu dari Rusli, membantah aliran dana tersebut. (*)

Copyright © ANTARA 2008