Jakarta (ANTARA News) - Pulang dari sekolah, wajah Dicta (10) terlihat muram. Siswi kelas empat SD swasta itu hanya mengurung diri di kamar dan menolak ketika ditawarkan makan oleh ibunya. Kontan saja, sikap Dicta mengundang kekhawatiran ibunya yang menduga putri kesayangannya itu menderita sakit. Setelah dengan sabar membujuk putrinya itu, akhirnya Ibu Ina mengetahui penyebab muramnya Dicta sampai-sampai menolak untuk makan dan minum, bahkan es jeruk yang menjadi kegemarannya. "Ma, aku malu. Tadi di sekolah teman-teman terutama teman cowokku mengejek aku gemuk. kata mereka wajahku manis tetapi sayang aku gemuk jadi mereka panggil aku "Ndut, Ndut". Mulai sekarang aku ga mau makan lagi biar cepat kurus," kata Dicta sambil terisak-isak di pelukan ibunya. Ibu Ina langsung tersenyum saat mendengar cerita putrinya itu dan segera meyakinkan putrinya masalah tersebut bisa diatasi tanpa harus mogok makan atau minum. Kemudian tangis Dicta mereda saat ibu Ina menjanjikan untuk bersama-sama pergi berkonsultasi ke dokter. Kisah yang dialami ibu Ina mungkin juga dialami oleh banyak orang tua lainnya yang memiliki anak dengan berat badan berlebih atau obesitas. Namun demikian, kecenderungan yang terjadi justru masih banyak orang tua mengabaikan persoalan kegemukan pada anak tanpa memberikan perhatian khusus. Padahal menurut dr Bara Langi Tambing, obesitas atau kegemukan pada anak terutama pada usia 6-7 tahun bisa menurunkan tingkat kecerdasan anak, karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas. "Obesitas secara berlebihan pada anak biasanya akan menyebabkan tingkat kecerdasan anak menurun. Pada kondisi tersebut, umumnya aktivitas dan kreativitas anak akan menurun, selain membawa efek psikologis pada anak yakni timbulnya rasa malu utamanya pada anak perempuan," kata dokter spesialis anak di Rumah Sakit Ridwan Meureksa Jakarta Pusat. Kegemukan pada anak turut menghambat pada proses deteksi dini berbagai penyakit seperti demam yang mengiringi flu burung, demam berdarah, atau tipus akibat jaringan lemak yang lebih tebal. Departemen Kesehatan menyatakan bahwa Obesitas merupakan satu dari lima masalah gizi utama yang terjadi di Indonesia selain kekurangan energi-protein, kekurangan gizi besi, gangguan akibat kekurangan Iodium (GAKI) dan kekurangan vitamin A dan hingga kini belum teratasi. Kelebihan gizi yang menimbulkan obesitas telah meningkatkan resiko munculnya penyakit tidak menular dan penyakit degeneratif yang terjadi karena perubahan gaya hidup akibat peningkatan pendapatan, seperti penyakit jantung, penyumbatan pembuluh darah, dan diabetes. Menurut dr Bara, obesitas pada anak disebabkan beberapa faktor, antara lain asupan makanannya yang berlebih, jenis-jenis makanan yang serba instan seperti makanan fast food, makanan olahan seperti sosis, nasi instant, dan sebagainya. Selain itu, pada waktu lahir anak tidak dibiasakan mengkonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi mengunakan susu formula. Anak yang biasa meminum susu dalam botol, biasanya tidak dapat menghitung jumlah asupan yang sesuai bahkan melebihi porsi yang dibutuhkan anak. Akibatnya ketika berusia 4-5 tahun anak sudah mengalami kelebihan berat badan sebab terjadi asupan makanan tanpa memperhatikan takaran kebutuhan anak, sehingga terjadi penimbunan lemak dalam tubuh yang berlebihan. Penelitian Badan Internasional Obesitas Task Force (ITF) World Health Organization (WHO) menyebutkan 99 persen anak obesitas karena faktor lingkungan, sedangkan yang dianggap faktor genetik umumnya lebih sebagai akibat faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang dipengaruhi oleh aktivitas dan pola makan orang tua anak, misal pola makan bapak dan ibunya tidak teratur menurun pada anak. Sementara itu, dokter spesialis kandungan dari rumah sakit Cikini Jakarta Pusat, dr Robby SpOG mengatakan, bayi yang lahir kurang atau melebih berat badan bayi normal umumnya dipicu sejak anak berada di dalam kandungan akibat kondisi kesehatan ibu. "Bila bayi lahir dengan berat di atas normal yakni lebih besar dari 4.000 gram, maka patut dicurigai bahwa si ibu menderita penyakit diabetes sehingga selayaknya setelah melahirkan segera dilakukan pemeriksaan darah terhadap ibu sebagai langkah antisipasi pada kehamilan berikutnya," katanya. Dukungan Keluarga Persoalan kegemukan pada anak-anak umumnya dipicu oleh faktor genetika atau keturunan baik dari ayah maupun ibunya demikian pula asupan makanan yang diberikan sehari-hari sangat menentukan pola makan anak selanjutnya. Kegemukan yang dialami Dicta ada kemungkinan dipicu oleh adanya penyakit diabetes yang diderita ibu Ina, selain juga karena gaya hidup dalam mengkonsumsi makanan. Saat berkonsultasi dengan dokter anak dan ahli gizi, Ina baru mengetahui bahwa ketika kelahiran anak kedua dengan berat badan di atas normal seharusnya ia segera memeriksakan diri karena terkait dengan kegemukan bayinya tersebut. "Kegemukan yang dialami putri saya cukup membuat cemas kami orang tuanya sebab pada saat berangkat remaja nanti pasti dia akan merasa minder karena penampilannya yang kurang sempurna. Karena itu, sejak berat badannya mulai tidak terkendali pada usia 5 tahun, kami sudah berusaha mengurangi asupan makanan yang memicu bertambahnya berat badan," katanya. Namun upaya ibu Ina boleh dikatakannya selalu gagal sebab ketika disiplin dalam soal makan dan minum diberlakukan bagi Dicta, sementara anggota keluarga lain tetap bebas untuk menikmati makan dan minuman apa saja telah menjadikan putrinya meras dikucilkan. "Ketika saya membatasi jenis makanan dan minuman yang boleh dikonsumsi Dicta, awalnya protes namun dengan paksaan ia mau menurut juga. Tetapi pembatasan asupan makanan itu hanya berlaku sebentar saja sebab ia melihat kakak-kakaknya bisa makan apa saja tanpa dibatasi akhirnya semangatnya mengendur dan kembali pada pola makan yang tidak beraturan lagi," ungkap ibu Ina. Dokter anak dari RS Ridwan Meureksa, dr Bara Langi Tambing tidak menampik kegagalan yang dihadapi keluarga-keluarga untuk menolong anak-anak mereka yang mengalami obesitas. "Memang sulit mencegah anak kita untuk tidak kembali ke pola konsumsi lama menerima segala jenis makanan modern dengan kemasan menarik, cepat saji namun sekaligus menimbulkan bencana," ujarnya. Sejumlah pasien anak dengan keluhan obesitas yang berhasil menurunkan berat badan hanya satu berbanding 10, kenyataan tersebut yang sering dihadapi para dokter anak, ujarnya. "Dokter anak atau ahli gizi tidak akan memberikan obat atau suplemen seperti halnya pada pasien obesitas dewasa, sehingga keluarga mengambil`peran terbesar untuk keberhasilan penurunan berat badan anak-anak mereka," katanya. Ia mengingatkan, anak-anak yang mengalami obesitas, bisa mengalami komplikasi seperti mengidap diabetes tipe-2 yang resisten terhadap insulin, sindrom metabolisme, kolesterol tinggi. Selain itu, anak dengan kelebihan berat badan berpeluang mengalami kematangan seksual lebih cepat dari anak-anak sebayanya. Untuk mengatasi anak-anak yang mengalami obesitas, diantaranya dengan pola makan yang sehat, bahkan pola makan empat sehat lima sempurna masih layak diterapkan, membatasi waktu santai anak misalnya di depan televisi sehingga mengundang anak untuk nonton sambil menikmati camilan dan terpenting mengajak anak untuk berolahraga rutin.(*)

Pewarta: Oleh Zita Meirina
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008