Jakarta (ANTARA News) - Respon pasar modal dan kestabilan moneter masih bagus dan terjaga, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan untuk merespon kemungkinan terjadinya resesi di AS. "Kemungkinan terjadinya resesi di AS masih "mixed" (tak menentu), karena sekitar 45 persen ekonom di AS percaya akan terjadi resesi, dan 55 persen optimis tidak akan terjadi resesi, namun hanya pelambatan ekonomi saja," kata Kepala Riset Danareksa, Purbaya Yudhi Sadewa kepada ANTARA, Selasa. Menurutnya, meski indeks kepercayaan konsumen di AS mengalami penurunan, berbagai indeks ekonomi lainnya seperti indeks industrial, dan indeks belanja rumah tangga masih cukup baik. "Indeks kepercayaan yang turun tersebut hal yang biasa ketika ada berita-berita buruk, namun indeks-indeks ekonomi lainnya kan masih mencerminkan adanya pertumbuhan ekonomi AS. Ekonomi AS diperkirakan masih akan tumbuh sekitar 1,8 persen pada tahun ini, namun menurut Purbaya pertumbuhan itu akan lebih besar lagi dari angka 1,8 persen. "Hal ini karena ada dampak positif dari serangkaian kebijakan The Fed yang menurunkan suku bunganya sejak Oktober 2007 lalu, sehingga pengaruhnya dirasakan pada tahun ini," kata Purbaya. "Jadi masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa ekonommi AS bakal masuk ke dalam jurang resesi. Buktinya respon pasar masih tetap tenang tidak seperti sebelumnya ketika ada kekhawatiran resesi di AS, pasar bereaksi negatif sehingga indeks saham turun drastis,"tambahnya. Menurutnya, investor memberikan reaksi yang bijak dengan tidak merespon secara berlebihan berita-berita buruk mengenai ekonomi AS, termasuk kemungkinan terjadinya resesi. Hal ini juga menurutnya mendorong kurs rupiah pada kisaran yang menguat. Bahkan, katanya, pasar modal di AS tidak memberikan reaksi yang berlebihan. "Buktinya indeks Dow Jones, Nasdaq dan S&P 500 semuanya naik,"ujarnya. Ditambahkannya kurs rupiah yang relatif menguat selama beberapa pekan ini mencerminkan masih menariknya Indonesia untuk lahan investasi. Dolar AS banyak mengalir ke Indonesia dan sebaliknya permintaan rupiah terus meningkat. "Mereka masih melihat ada ruang keuntungan yang cukup, karena tingkat bunga di Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga luar negeri," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008