Jakarta (ANTARA) - Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu 2019, situasi politik di Tanah Air sudah mulai tenang meskipun masih menyisakan hiruk pikuk seputar susunan kabinet mendatang.

Joko Widodo dijadwalkan dilantik 20 Oktober 2019, dan tentu saja harus menyiapkan pembentukan kabinet yang terdiri atas sekitar 33 menteri dan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian. Nah, di situlah muncul setumpuk teka-teki yang membuat penasaran berbagai pihak.

Sejumlah partai politik yang pada masa pemerintahan Joko Widodo sudah "menaruh" orang-orangnya di Kabinet Kerja tentu amat mendambakan agar utusan-utusannya tersebut tetap dipertahankan, atau bahkan ditambah. Sementara itu, di lain pihak ada beberapa partai poltik juga ingin “menaruh” politikusnya di tampuk pemerintahan.

Baca juga: Fahri: banyak tidak paham konsep oposisi dalam presidensialisme

Contohnya adalah Partai Amanat Nasional (PAN). Ketua MPR RI Zulkifli Hassan beberapa pekan lalu baru saja menghadiri pelantikan beberapa gubernur di Istana Negara. Padahal, biasanya pimpinan MPR RI tidak menghadiri pelantikan para gubernur baru.

Yang menjadi perhatian para politikus dan juga pengamat politik adalah Zulkifli Hassan mengadakan pertemuan empat mata dengan Joko Widodo. Pertanyaannya adalah apakah pertemuan itu dilakukan oleh seorang Ketua MPR ataukah Zulkifli sebagai ketua Umum Partai Amanat Nasional?

Kini di kalangan internal PAN masih tetap saja muncul pertanyaan apakah partai ini harus bergabung atau berkoalisi dengan kelompoknya Joko Widodo ataukah menjadi lawan alias oposisi di luar pemerintahan? PAN pernah mendapat “jatah” satu kursi di Kabinet Kerja, yakni menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB). Akan tetapi, kemudian kursi itu lepas dari tangan PAN sehingga sekarang PAN tak memiliki wakil di pemerintahan.

Ada politikusPAN yang mengeluarkan unek-uneknya dengan mengatakan bahwa mereka tidak perlu mencoba meraih satu atau dua kursi menteri bersama Joko Widodo dengan “mengorbankan” jutaan pendukung atau simpatisannya.

Namun, di lain pihak, ada saja politikus PAN yang keukeuh untuk menempatkan orang-orangnya di kabinet. Jadi, kalangan internal PAN masih harus “bergulat” secara internal untuk menentukan sikapnya selama 5 tahun mendatang.

Baca juga: PKB: Koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin sudah kuat di parlemen

Partai Demokrat

Sementara itu, di lain pihak Partai Demokrat di bawah Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono dinilai banyak orang juga ingin “merapat” ke Joko Widodo. Putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sudah berulang kali menemui Joko Widodo. Bahkan, AHY menyebut bahwa dirinya diperintahkan oleh SBY untuk menjadi “jembatan” penghubung dengan Jokowi.

Suka atau tidak suka, masyarakat harus melihat bahwa AHY yang merupakan mantan perwira menengah TNI AD itu sebagai “putra mahkota” alias anak kesayangn SBY walaupun presiden ke-6 Republik Indonesia ini memiliki satu putra lainnya, yakni Edhi Baskoro (Ibas).

Untuk apa AHY harus berulang kali menemui Jokowi kalau tidak ada tugas khusus dari SBY dan partainya? Tentu bisa diduga ada tugas khusus yang diemban Agus Harumurti mendatangi Jokowi.

Masyarakat tentu harus sadar atau ingat bahwa pada tahun 2024 akan berlangsung lagi pemilihan presiden. Karena Jokowi sudah dua kali menjadi Kepala Negara, dia tak bisa maju lagi dalam pilpres sehingga “terbuka pintu” bagi siapa pun juga untuk maju pada Pilpres 2024.

Dengan demikian, “terbuka pintu” bagi AHY untuk tampil pada Pilpres 2024. Apalagi, dia sudah berpengalaman dalam mengikuti Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2 tahun lalu walaupun akhirnya yang menang adalah Anies Baswedan.

Apabila AHY berhasil “merayu” Jokowi untuk menjadi menteri atau pejabat pemerintah, akan terbuka peluang besar bagi AHY untuk menyiapkan diri ke pilpes mendatang walaupun harus disadari bakal munculnya berbagai tokoh masyarakat lainnya, terutama dari kalangan muda alias milenial.

Baca juga: Pengamat: Jokowi tidak perlu tambah koalisi

Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah menegaskan posisinya untuk terus berada di luar pemerintahan alias terus menjadi kelompok oposisi sehingga tidak bekerja sama secara formal atau berkoalisi dengan Jokowi.

Para politikus perlu benar-benar menyadari bahwa berkoalisi ataupun sebaliknya beroposisi menjadi hak pilihan setiap partai politik di Tanah Air sesuai dengan visi dan misi masing-masing partai.

Apa pun pilihan mereka, yang harus menjadi pegangan atau patokan setiap parpol adalah mengutamakan kepentingan lebih dari 265 juta orang Indonesia. Warga NKRI terdiri atas beraneka ragam suku, agama, berbagai bahasa, dan lain sebagainya sehingga partai harus menaungi berbagai aliran tersebut.

Jadi, boleh saja sejumlah pakar politik menyatakan bahwa perlu ada check and balances atau pengawasan dan pengecekan terhadap jalannya roda pemerintahan jika kabinet mulai berkuasa sehingga kabinet tidak berlangsung semaunya sendiri. Di sinilah pentingnya memperhatikan fatsun dalam berkoalisi, sopan santun dalam berpolitik.

Oleh karena itu, siapa pun yang duduk dalam kabinet dan dari mana pun mereka datang, prioritas paling tinggi harus diberikan adalah kepentingan semua rakyat Indonesia. Masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan sehingga mereka itulah yang harus menjadi perhatian utama para menteri.

Sampai kapankah Indonesia bisa bebas dari gelandangan dan fakir miskin? Sementara itu, di sisi lain para pejabat dan tokoh politik hidupnya bergelimang harta.

Baca juga: Pengamat: Oposisi tak ideal jika cuma melibatkan Gerindra-PKS

Para politikus sah-sah saja mencari “kursi empuk” di dalam pemerintahan. Akan tetapi, jangan sama sekali melupakan konstituen atau pemilih mereka yang kebanyakan hidupnya masih jauh dari cukup.

*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA pada tahun 1982 s.d. 2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan pada tahun 1987 s.d. 2009.

Copyright © ANTARA 2019