Jakarta (ANTARA News) - Penonton yang hadir sontak bersorak, "jorok, jorok, jorok...," ketika dalang menuturkan salah satu syarat menjadi pesinden yang andal yakni "laris" dan "tidak suka makan daging". Malam semakin larut, dalang semakin terampil menghanyutkan libido penonton dengan memilih kata-kata yang "nyerempet". "Jangan lantas diberi arti buruk," kata dalang ketika merespons reaksi penonton yang tampak mulai gerah dengan suguhan serba menggelitik keinginan seksual dari mereka yang hadir. Ilusi berdenyut di serabut kesadaran seakan berontak untuk mencari katup pemuasan. Makna "laris" ditafsirkan sebagai kecenderungan pesinden untuk menyukai setiap pria yang menghampiri dirinya dengan iming-iming uang. Sedangkan, suka makan daging dikaitkan dengan hubungan seksual yang diberi imbalan sejumlah materi. "Para pesinden hendaknya juga memiliki napas yang kuat, karena itu mereka perlu minum susu kuda. Kuda punya daya tahan luar biasa," kata dalang Ki Anom Suroto yang membawakan lakon Bima Bungkus di Desa Tugu, Kecamatan Cawas, sebuah desa miskin di kaki pegunungan Gunung Sewu. Fragmen yang menjual ilusi itu dibawakan dalang kondang. Fragmen itu mewakili salah satu norma seksual dari manusia Jawa, bahwa yang berhubungan dengan kehidupan seksual hendaknya tidak dikemukakan secara terang-terangan. Wayang kemudian tampil sebagai medium untuk menyampaikan apa yang hidup di kalangan masyarakat setempat, dan mewakili sosok dari mereka yang hadir. Wayang tampil tidak sekadar gambaran tentang sosok, tetapi panggung dari mereka yang hadir dalam perilaku keseharian. Perhatikan cara dalang menata wayang di dua batang pisang (gedebog). Wayang yang ditancapkan di gedebog bawah mewakili tokoh-tokoh yang memiliki martabat rendah. Sedangkan gedebog atas diperuntukkan bagi para tokoh yang mempunyai martabat terhormat. Setiap wayang dapat dibedakan ke dalam tiga corak perilaku yaitu halus atau "alus", gagah, dan kasar. Amati cara dalang memosisikan tangan setiap tokoh pewayangan. Kedua tangan yang saling beradu dan berada ke bawah menandakan tokoh wayang itu mengandalkan kerendahan hati. Tangan kanan berada di pundak menyimbolkan perilaku percaya diri atau gagah. Sementara dua tangan wayang yang saling berhimpitan menunjukkan sikap rendah hati dan penuh hormat atau sikap halus. Wayang mewakili koordinat perilaku seseorang. Apakah pakem ilusi mengenal ranah perilaku alus dan kasar? Dalam bukunya Etika Jawa, Franz Magnis-Suseno SJ mengutip pandangan Hildred Geertz mengatakan bahwa pendidikan mengenai kefasihan memeragakan sikap-sikap hormat yang tepat dapat tercapai melalui tiga perasaan yakni wedi (takut), isin (malu), dan sungkan (rasa segan, sopan, dan hormat). Ilusi jadi tidak relevan dalam perbendaharaan kebijaksanaan Jawa yang merapat kepada "rasa". Menurut Magnis-Suseno, seseorang yang sungguh bijaksana, yaitu orang yang telah sampai pada "rasa" yang sebenarnya dapat dikenali karena kehalusannya. Ini dilandasi oleh pandangan orang Jawa yang selalu menempatkan segala apa yang dilihatnya menurut ukuran "kasar-alus". Semakin "alus", semakin baik dan benar. Sebaliknya, semakin "kasar", semakin jelek dan pantas untuk disayangkan. Ini jurus pamungkas untuk memangkas revolusi di negeri pewayangan. Novelis Arswendo Atmowiloto dalam karyanya Kawinnya Martubi Juminten menulis, "Dalam wayang ksatrialah yang bisa menahan diri. Buto-lah yang kalah, yang keok karena tak mampu menahan godaan duniawi. Karena Buto suka makan enak, pakaian bagus, suka memikirkan kepentingan diri dan sombong." Novelis yang memakai wayang sebagai pemberi makna kehidupan yakni Y.B. Mangunwijaya mengisahkan percintaan antara Roro Mendut dan Pronocitro yang justru tidak disapu oleh nafsu asamara. Ia menulis, "Birahi melulu adalah lapisan bawah Tribuwono. Sebaliknya cinta murni di kayangan lingkungannya. Arjuno maupun Bimo masih belum lepas dari alam bawah. Namun Yudhistira terlalu lekas ingin masuk regol rohani. Nakulo-Sadewa lebih wajar, setiawan yang membawa warta bahwa asmara harus dewasa menjadi kesetiaan." Menurut filosof post-modernisme Jean Baudrillard, kecabulan memiliki wajah modernitas. Segala sesuatu di dunia modern telah difilmkan bahkan ditayangkan, sampai akhirnya manusia terkubur hidup-hidup di bawah informasi. Revolusi menuju kemanusiaan yang utuh, kemanusiaan yang tidak tererosi oleh banjir informasi. "Kita telah menjadi voyeuris yang dihantui oleh diri kita sendiri. Polling, talk show dan media memaksa kita menceritakan segala rahasia. Bahkan kita semua menerima dengan senang hati malapetaka. Kenikmatan yang benar-benar nyata di dunia ini adalah menyaksikan sesuatu jadi jatuh ke dalam bencana," tulis Jean Baudrillard dalam buku The Illusion of The End. Ketika bicara soal massa yang jadi obyek dari bencana, ia menegaskan bahwa massa dapat menyerap, memamah segala percepatan sistem kekuasaan. Massa itu berbahaya karena dapat menghisap kekuasaan hingga lumat. Kebungkaman massa selama ini bukan tanda keterasingan tetapi justru tanda kekuasaan. Kebungkaman adalah strategi jitu, meski kemenangan massa tidak akan menjadi revolusi. Menurut dia, massa selalu diremehkan bahkan dipandang sebagai cermin belaka karena memantulkan obyek kepada kejernihan. Masyarakat modern diarahkan kepada kelumpuhan memaknai simbol. Narasi besar masyarakat modern yakni tidak ada yang bisa diberikan tanpa dikembalikan, tidak ada yang pernah menang, tanpa ada sesuatu yang dikalahkan, tidak ada seuatu yang pernah diproduksi tanpa ada yang dihancurkan. Tidak ada sesuatu yang pernah dibicarakan, tanpa ada yang ditanyakan. Ilusi lantas menjelma menjadi revolusi. Berangkat dari makna ilusi "porno" yang diambil dari dunia pewayangan kemudian sosok manusia utama (wong utomo) dalam kebudayaan Jawa, pelajaran apa yang bisa diperoleh untuk menemukan langkah menghadapi kondisi serba krisis, dari listrik, pupuk, sampai kedele? Pernyataan Wakil Presiden M Jusuf Kalla soal berkurangnya listrik memenuhi narasi besar dari masyarakat modern yang kerap mengumbar ilusi dari "birahi ekonomi" dengan hidup serba konsumtif. Katanya, semakin sering matinya listrik sebagai bukti perekonomian membaik. "Kenapa itu? Bukan karena listrik kurang. Ini karena semakin banyak orang yang menggunakan pendingin." "Jika kita menaikkan tarif listrik, orang marah. Tak ada jalan lain kecuali hemat. Sulitnya, orang tidak mau hemat listrik karena murah. Disuruh hemat tidak mau, dinaikkan harganya, marah." Pernyataan Wapres itu bersumber dari pertanyaan kunci dalam etika keutamaan bahwa kualitas watak pribadi seseorang bukan ditentukan oleh "apa yang harus/wajib aku lakukan?" (what should I do?), melainkan "mau menjadi manusia macam apa aku ini?` (what sholud I be?") Etika keutamaan tidak bertanya tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, melainkan tentang keutamaan-keutamaan mana yang perlu dikejar. Etika keutamaan coba menjual barang dagangan yang realistis, bukan hal yang ilusi belaka. Dialog Plato yang berjudul Republic misalnya menyebutkan, keutamaan keadilan bukan sekadar suatu tindakan yang sesuai dengan hukum atau seperangkat aturan yang mencantumkan boleh-tidak boleh, sah-tidak sah, melainkan justru memuat kualitas watak seseorang. Hemat jadi kualitas watak seseorang, bukan soal boleh atau tidak boleh untuk hidup tidak hemat. Namun, bagaimana menjelaskan dan memerikan kondisi yang sekarang ini dialami petani? Apakah mereka perlu hemat ketika sawah mereka terkena puso dan terlanda kekurangan pupuk? Apakah nyanyian bersama "gimah ripah loh jinawi" sekadar ilusi? Sekitar 77 ribu hektare tanaman padi di seluruh Indonesia pada musim tanam 2007-2008 mengalami puso akibat banjir di beberapa daerah. "Bukan berarti sama sekali tidak panen, karena di beberapa daerah yang tanaman padinya mengalami puso, langsung memperoleh bantuan benih padi untuk ditanam kembali," kata Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian, Sutarto Ali Muso seusai sosialisasi pengadaan gabah/beras dalam negeri 2008, di Yogyakarta. Banjir kemungkinan juga menyebabkan masa panen mundur. Biasanya terjadi Maret-April, kemungkinan mundur menjadi Mei. Bagaimana menjelaskan kepada publik bahwa kerja keras diperlukan untuk mensukseskan Tahun Kunjungan Indonesia (Visit Indonesia Year) 2008, tanpa jatuh ke dalam ilusi belaka? "Biarpun ada banjir atau bandara di Indonesia belum siap menyambut VIY 2008, tapi kita harus berani mencanangkan dan melakasanakan program VIY 2008 dengan target kedatangan 7 juta wisman," kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik. Krisis listrik, krisis pupuk, dan banjir dapat memenangi hati massa bila kesulitan-kesulitan yang mendera itu tidak terus berubah menjadi lingkaran hitam. Semakin kesulitan hidup menjadi dialektis, semakin revolusi menjadi solusi yang mempesona. Yang horor bukan semata revolusi, melainkan massa yang siap merangsek, tanpa memedulikan koordinat-kordinat moral etis (Jawa). "Isin yo isin, yen ojo ngisin-ngisini", malu ya malu, tetapi jangan sampai memalukan diri sendiri. Apakah tidak malu (ora isin) melihat ribuan tenaga honorer yang tergabung dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia dari berbagai daerah menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/2)? Apakah perilaku jauh dari alus memang menerpa para kepala daerah yang gemar "jalan-jalan" ke Jakarta? Karena Menteri Keuangan telah menutup peluang Kepala Daerah melancong ke Jakarta, seperti ditulis sebuah harian ibukota. Mereka yang memilih kredo "apa yang harus/wajib aku lakukan?" dalam menjalani hidup, ketimbang "mau menjadi manusia macam apa aku ini?`, relatif mudah terjerumus dalam padang pasir sosial, di mana makna dimusnahkan, dan masa depan diberangus. Yang tersisa bayang-bayang kematian. Tinggal sekarang berharap, datanglah embun ilusi di negeri wayang ini. Kalau teriakan, "porno, porno, porno..." dari mereka yang menyaksikan pergelaran wayang kehidupan masih terdengar setelah merasakan pedihnya kehidupan, dan telanjangnya penderitaan, masih adakah manfaatnya mencermati dan menyemai kredo yang dikemukakan oleh antropolog Benedict Anderson dengan "Imagined Communities" (Komunitas-komunitas Terbayang)? Menurut Anderson, bangsa adalah sesuatu yang "terbayang" karena bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan tak akan kenal sebagian anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun, di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup di sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Atau, apakah sinisme Karl Marx yang menyamakan rakyat dan kuda dalam hubungannya dengan sang Raja secara gerafis menggambarkan hubungan kekuasaan yang absolut seperti itu? Bagi raja, tidak ada bedanya antara rakyat dan kuda, karena dua-duanya adalah milik raja.(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008