Mataram (ANTARA News) - Mantan Menko Ekuin, Rizal Ramli, menyatakan Indonesia sekarang ini dalam posisi yang sangat terpuruk, karena telah tergadaikan kepada negara-negara kreditor asing. "Sebenarnya Indonesia ini memiliki kekayaan yang luar biasa, tetapi sudah digadaikan kepada pihak asing dengan harga yang sangat murah. Ibarat cangkir emas yang digunakan untuk mengemis uang recehan kepada negara-negara kreditor," katanya dalam dialog publik di Mataram, Rabu malam. Di hadapan puluhan tokoh berbagai elemen masyarakat, Rizal Ramli, kelahiran Sumatera Barat tersebut mengungkapkan secara blak-blakan tentang kondisi perekonomian Indonesia, yang terkontaminasi oleh faktor politik. Politik dan pembangunan ekonomi di Indonesia seperti dua mata uang yang saling mempengaruhi. Hal tersebut dikarenakan politik di Indonesia itu masih tahap "love and hate relationship" atau hubungan berdasarkan cinta dan benci. Pemimpin di Indonesia itu pada mulainya sangat dicintai, ekspektasi rakyat sangat berlebihan. Kemudian pada periode tertentu timbul tanda tanya, yang meragukan keseriusan pemimpin itu atas komitmennya terhadap masyarakat. Dari kondisi demikian itulah munculnya pernyataan "asal bukan", yang selama kepemimpinan empat presiden RI terdahulu kerap terulang. Misalnya asal bukan Soeharto, asal bukan JB Habiebie, asal bukan Gus Dur (sapaan akrab mantan Presiden Abdulrahman Wahid dan asal bukan Megawati Soekarnoputri. "Kondisi sedemikian itu sangatlah tidak mendukung upaya pembangunan yang harus dilakukan, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara adil dan makmur," katanya. Washington concensus Menurutnya ada dua masalah utama yang dihadapi, yakni kualitas kepemimpinan dan kedua menyangkut cara berfikir (school of thought, red) dalam bidang itu, yang lebih banyak mengandalkan cara berfikir "Washington Concensus". Yakni garis kebijakan ekonomi dari Washington untuk negara-negara berkembang, yang pemerintah Amerika Serikat sendiri tidak melakukannya dalam praktek. Di Asia Timur saat ini, negara berkembang yang melaksanakan pemikiran Washington Consensus secara komit adalah Indonesia dan Filipina. Dan prestasi terbesar kedua negara ini adalah menjadi negara eksportir tenaga kerja wanita terbesar di dunia. Sedangkan negara-negara Asia lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang dan China tidak menganut model Washington Concensus itu, tetapi model Asia Timur, dan dalam bidang ekonomi mereka terbukti lebih mandiri. Dalam model Washington Concensus, peranan pemerintah seminim mungkin, sementara model Asia Timur pemerintah memainkan peranan proaktif dalam bidang ekonomi. Walaupun dalam bidang militer dan politik, negara-negara di Asia itu menjalin kerjasama dengan Washington, tetapi di bidang ekonomi mereka mau mandiri dalam perumusan kebijakan, karena hanya dengan cara itulah mereka mampu mengejar ketertinggalannya dari negara-negara Barat. "Kalau dalam pertengahan tahun 1960-an, GNP per kapita Indonesia, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan China nyaris sama, tetapi pada tahun 2004 lalu, Indonesia sangat tertinggal jauh," katanya. Golden bowls Ditegaskan, meskipun Indonesia telah berhasil membebaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda, namun dalam kenyataannya Indonesia masih terjajah di bidang perekomian. Penjajahan (neo kolonialisme) itu terjadi sejak 1967, saat renegonisasi utang dengan kreditor-kreditor asing. Publik tidak banyak mengetahui kalau Indonesia "ditekan" membayar seluruh hutang dari pemerintah Hindia Belanda. Meskipun di masa kepemimpinan Soekarno, hutang-hutang yang sudah ditandatangani pada konferensi Meja Bundar (KMB) tidak pernah dibayarkan, tetapi di masa kepemimpinan Soeharto, dimana Widjoyo Nitisastro dan kawan-kawan, yang juga disebut sebagai "Mafia Berkeley" bersepakat untuk mau membayarkan hutang-hutang tersebut. "Perekomian Indonesia telah dikuasai kelompok itu, dan karena itu selama ini Indonesia nyaris tidak bisa besar, karena dalam prakteknya, kelompok Berkeley itu merupakan 'conduit' (saluran, red) bagi lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF," katanya menegaskan. Ditegaskannya, sesungguhnya negara Indonesia itu adalah negara yang sangat kaya raya, Indonesia memiliki banyak 'golden bowls' (cangkir emas), seperti Freeport, Newmont, Cepu. Tetapi karena mental pemimpin dan elitnya itu "inlander", maka kekayaan itu seakan-akan tidak bermakna. Pemimpin-pemimpin kita saat ini masih didominasi inlander serta tidak pernah percaya diri. "Pemimpin yang pernah memimpin negara ini, dan bahkan mereka yang mencita-citakan dirinya akan menjadi pemimpin melalui Pemilu 2009 mendatang adalah sama, mereka hanya memiliki motivasi mencari kekuasaan. Memanfaatkan kekuasaan itu untuk popularitas diri ataupun kelompok," demikian Rizal Ramli. (*)

Copyright © ANTARA 2008