Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Fraksi Partai Golkar di MPR, Hajriyanto Y Thohari, di Jakarta, Kamis, mengingatkan kepada Pemerintah RI agar jangan lagi mendukung resolusi baru Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB) yang dijatuhkan kepada Iran. "Dewan Keamanan (DK) PBB melakukan voting atas sebuah resolusi baru yang isinya penambahan elemen-elemen sanksi baru yang akan dijatuhkan kepada Iran dalam kasus program nuklir. Resolusi baru ini merupakan kelanjutan dari Resolusi 1747 tanggal 24 Maret 2007 yang lalu dan yang mengundang kontroversial luar biasa itu," katanya kepada ANTARA. Hajriyanto Thohari menambahkan, dapat dipastikan resolusi baru ini pun akan efektif dalam hal sanksi tersebut. "Dan karenanya, RI sebagai anggota (tidak tetap) DK Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berada pada posisi harus memberikan suara dalam pemungutan suara tersebut. Itulah mengapa perlu diingatkan," tandasnya. Anggota legislatif yang juga duduk di Komisi I DPR ini, mengemukakan posisi Indonesia dalam voting bisa memilih "setuju" mendukung resolusi baru, "menolak", atau "absen". "Kan pada Sidang DK PBB tanggal 24 Maret 2007 yang lalu RI mendukung dikeluarkannya Resolusi 1747 yang berisi penjatuhan sanksi. Dan akhirnya menimbulkan gelombang protes yang keras, bahkan mengakibatkan DPR mengajukan interpelasi yang usulannya didukung oleh 300 lebih anggota Dewan," ungkap 'Menteri Luar Negeri' (Menlu) dalam 'Kabinet Bayangan' sebagaimana didaulat 'Kaukus Parlemen Muda' (KPM) ini. Paralel dengan aspirasi Hajriyanto juga mengingatkan, agar delegasi Indonesia di DK PBB harus bisa berpikir paralel dengan aspirasi rakyat Indonesia. "Dalam kaitan ini, maka dalam Sidang DK PBB nanti (kemungkinan besok), delegasi kita harus berpikir cermat dan akurat, agar posisi Indonesia paralel dengan aspirasi rakyat Indonesia, yaitu menolak resolusi baru untuk menambah elemen-elemen sanksi kepada Iran, karena kecurigaan Barat terhadap program nuklir damai Iran," tegasnya. 'Menlu Kabinet Bayangan; ini meyakini, pemerintah Indonesia tidak akan mengulang kesalahan lalu dengan mendukung resolusi tidak 'fair' tersebut. "Kami juga yakin Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah pemerintahan yang baik yang mau belajar dari kekeliruan lama. Dan untuk kali ini Pemerintahan RI mutlak harus lebih aspiratif, independen, cermat dan akurat dalam menentukan sikap," tandasnya. Artinya, lanjut Hajriyanto, RI harus menolak resolusi DK PBB yang menjatuhkan sanksi tersebut dalam voting di sidang DK PBB. "RI harus tegar, tegas, dan cerdas, dengan tetap mengutamakan independensi dan politik bebas aktif," ujarnya. Bagi Hajriyanto Thohari, tidak ada alasan obyektif untuk mendukung sanksi kepada Iran. "Pertama, Badan Atom Internasional (IAEA) telah menyimpulkan keterangan Iran menyangkut 'outstanding issues' tidak bertentangan dengan temuan IAEA, sehingga semua isu tersebut dianggap selesai. Kedua, IAEA telah memastikan bahwa program nuklir Iran adalah 'non-diversion of declared nuclear material'," urainya. Kemudian ketiga, resolusi baru yang berisi sanksi tambahan kepada Iran juga konterproduktif bagi pencarian solusi damai atas kasus ini. "Lalu keempat, 'timing'-nya sangat tidak tepat," tambahnya. Harus yakinkan Iran Dalam konteks dan perspektif tersebut di atas, menurut Hajriyanto, Republik Indonesia sebagai negara berdaulat dan berpinsip bebas aktif, mesti menolak resolusi baru yang akan dikeluarkan oleh DK PBB besok atau lusa. "Penolakan Indonesia bukan diambil karena alasan-alasan emosional dan primordial, melainkan karena alasan prinsipil dan obyektif. Pertama, secara prinsipil RI tidak mau didikte oleh negara lain, dan kedua, secara obyektif Iran masih jauh dari pembuatan program nuklir untuk perang sebagaimana yang dituduhkan negara-negara Barat," tandasnya. Sebagai sahabat Iran, lanjutnya, baik dalam konteks sebagai sama-sama anggota D-8, negara Nonblok, negara berkembang, sesama negara Asia, dan anggota OKI, Indonesia juga harus dapat meyakinkan Iran. "Yakni sikap negara-negara Barat, terutama Amerika, terhadap kasus program nuklir Iran adalah lahir karena kecurigaan dan tidak adanya kepercayaan ('lack of confident'). Karena itu, Iran juga harus diyakinkan, agar berhati-hati dan terus menjalin kerjasama dengan IAEA secara lebih baik lagi," katanya. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008