Jakarta (ANTARA News) - Memasuki triwulan I 2008 ini, pemerintah kembali direpotkan dengan urusan infrastruktur jalan nasional yang dikeluhkan banyak pihak karena selalu rusak. Jalan yang rusak diyakini sementara pihak adalah biang dari ketidaklancaran distribusi barang, komoditas bahkan manusia itu sendiri. Kerugian tidak hanya waktu tempuh, tetapi juga menjalar kepada persoalan perekonomian secara umum. Bisa dibayangkan rusaknya jalan Pantai Utara (Pantura) Jawa yang mengemuka di awal tahun ini, ditambah lagi kemacetan akibat jalanan macet karena banjir dimana-mana, telah menghambat pasokan aneka komoditas pertanian dan pangan dari daerah-daerah di Jawa ke Jakarta dan sekitarnya. Harga-harga aneka komoditas, kemudian tak terelakkan naik dengan bilangan prosentase yang tinggi sehingga membuat para ibu rumah tangga menjerit karena harus mengeluarkan biaya ekstra. Singkat kata, diakui atau tidak, perekonomian rumah tangga terganggu. Jika ekonomi rumah tangga keluarga terganggu, masyarakat juga akan terkena dan ujung-ujungnya adalah negara juga terganggu. Tentu, hal ini harus dicegah dan seperti biasa, para pejabat terkait di republik ini kemudian menggelar rapat-rapat teknis dan koordinasi untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang nota bene rutin tersebut. Adalah Menteri Pekerjaaan Umum Djoko Kirmanto yang menyulut sebuah pernyataan keras bahwa jalan nasional tidak akan pernah bagus jika beban muatan barang tak terkendali. "Saat ini masih 60 persen dari beban yang seharusnya dan diijinkan (tonase). Kalau seperti ini, selamanya jalan akan rusak. Mengapa tidak di-nolkan saja," kata Djoko seusai menggelar rapat koordinasi tentang kerusakan jalan beberapa waktu lalu. Tudingan itu bukan tanpa alasan sebab Departemen Pekerjaan Umum sendiri sudah melakukan survei tahun lalu tentang penyebab kerusakan jalan di jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) dan Jalur Lintas Timur Sumatera (Jalintim). Hasilnya, ditemukan bahwa kelebihan muatan mengurangi umur ekonomis pemakaian jalan yakni untuk jalan Pantura umurnya tinggal 1,5 - 2 tahun dari yang seharusnya 10 tahun. Adapun jalan di Jalintim sudah rusak setelah empat tahun digunakan. Dengan kondisi itu, hampir bisa dipastikan, kondisi kerusakan jalan, terutama jalan nasional di setiap propinsi di Indonesia bisa dikatakan hampir merata. Departemen Pekerjaan Umum memperkirakan diperlukan dana sedikitnya Rp10 triliun. Contoh jalan rusak yang bisa dikemukakan, seperti disiarkan berkali-kali stasiun televisi swasta antara lain di jalur lintas timur Sumatera, Pantura Jawa Tengah dan Jawa Barat, Lampung dan daerah lainnya. Bahkan untuk di lintas Sumatera, dari total panjang 2.508 km, 1.400 km diantaranya rusak berat. Masalah serupa terjadi di jalur Trans Sulawesi. Sebagian besar dari 850 km ruas jalan Trans Sulawesi rusak. Di ruas Mamuju-Pasangkayu, Sulawesi Barat, jalur sepanjang 280 km dipenuhi lumpur seperti kubangan kerbau. Persoalannya kini, mengapa kerusakan jalan nasional sepertinya tidak pernah selesai setiap tahun? Betulkah, kerusakan itu karena hanya satu faktor tunggal seperti kelebihan muatan yang diijinkan (tonase)? "Melulu" Tonase? Ketika masalah tonase ditonjolkan oleh Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, otomatis departemen lain yang bertanggung jawab dari aspek regulasi itu yakni Departemen Perhubungan (Dephub) tidak tinggal diam. Dephub sebagai regulator awalnya bersikukuh, jika tonase langsung diturunkan menjadi nol persen dalam waktu dekat ini, maka dampaknya akan luar biasa. Tanpa bermaksud melindungi praktik yang sudah menjadi rahasia selama ini, yakni hampir 90 persen kendaraan truk dan barang yang melintas di seluruh jalan nasional melanggar ketentuan dan lolos dari setiap jembatan timbang yang dilaluinya, Dephub tampaknya mencoba berpikir jernih dan konsisten dengan tahapan yang sudah disepakati dengan pihak terkait. Dalam hal tonase, yang awalnya 90 persen, secara bertahap akan diturunkan menjadi nol persen pada akhir tahun depan. Saat ini, baru 60 persen. Namun, dengan "gertakan" dari Departemen Pekerjaan Umum tersebut, akhirnya dalam waktu kilat mengubah kebijakannya menjadi nol persen hingga akhir tahun ini yang dimulai dengan evaluasi pada Maret ini menjadi sekitar 50 persen. "Saya sudah koordinasi dengan Ditjen Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, soal ini," kata Dirjen Perhubungan Darat, Dephub, Iskandar Abubakar, belum lama ini. Bahkan untuk mendukung rencana itu, Departemen Perhubungan (Dephub) berencana melibatkan swasta tahun ini untuk mengontrol tonase angkutan di jalan raya. Keterlibatan swasta itu akan ikut memantau 142 jembatan timbang di Indonesia. Dengan demikian, Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan, Ditjen Perhubungan Darat Dephub, Suroyo Alimoeso, pengukuran dan kontrol jembatan timbang akan dilakukan dua kali yakni oleh konsultan swasta dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Rencana ini didasarkan pada pengalaman proyek swastanisai jembatan timbang di Sumatera Barat, satu di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan di Losarang, Jawa Barat dan ternyata cukup efektif mencegah pelanggaran tonase. Melalui program itu, peran Pemerintah Daerah sangat diharapkan karena pusat tidak mungkin mampu membiayai operasional operator swasta secara keseluruhan. "Daerah seharusnya mendukung karena jalannya lebih terjaga," kata Suroyo. Namun, persoalannya kini adalah bagaimana mekanisme pengawasan di lapangan nantinya jika toleransi benar-benar menjadi nol persen? Ini tampaknya akan menjadi pekerjaan tersendiri yang masih menjadi tanda tanya besar. Terbukti, ketika Dirjen Perhubungan Darat, Iskandar Abubakar didesak masalah itu, dia tak mampu menjawab secara taktis. "Memang masih rumit karena soal penegakan hukum terhadap pelanggaran, harus ada kontribusi nyata dari pihak terkait, khususnya mereka yang berwenang," katanya. Dephub, lanjutnya, hanya sebagai regulator, sedangkan eksekusi di lapangan dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan (Dishub) bersama jajaran di lapangan seperti kepolisian. "Sementara, sejak otonomi daerah, Dephub tak punya lagi garis komando dengan teman-teman di Dishub karena mereka berada dibawah pemda dan pemerintahan propinsi masing-masing," katanya. Peran Konstruksi Jika tonase yang dituding menjadi penyebab utama sudah nol persen pada akhir tahun ini, maka bagaimana peran sektor lain seperti konstruksi jalan itu sendiri dan lainnya seperti drainase, air dan sebagainya? Ternyata dibalik tudingan bahwa tonase menjadi penyebab utama oleh sementara pihak justru ada temuan lain. Lembaga Konsumen Jasa Konstruksi (LKJK) menilai kerusakan yang terjadi di Jalan Pantura bukan akibat kelebihan beban kendaraan, tetapi karena kualitas konstruksinya rendah. "Kalau yang dipakai kelebihan tonase itu bukan alasan yang bertanggungjawab," kata Ketua LKJK Bambang Pranoto belum lama ini. Bambang mempertanyakan mengapa kerusakan selalu terjadi setiap tahun. Hal ini menunjukkan Departemen Pekerjaan Umum tidak meningkatkan disain jalan sesuai kapasitas muat (load factor). Seharusnya untuk "design load factor" untuk Pantura dibuat lima, tetapi kalau melihat kondisi di lapangan kelihatannya di bawah yang seharusnya sehingga pemerintah tidak dapat menimpakan kepada pengguna jalan, paparnya. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi menyebutkan tanggung jawab konstruksi seharusnya 10 tahun, namun yang terjadi di Pantura kurang dari lima tahun. Oleh karena itu, pernyataan Dirjen Bina Marga kerusakan akibat beban kendaraan amat naif. Ini tantangan bagi insinyur Indonesia, mengapa tidak bertanggungjawab secara profesional, ujarnya mempertanyakan. Untuk membuktikannya, Bambang sudah pernah meminta Departemen PU melakukan audit konstruksi bersama untuk membuktikan bahwa telah terjadi kesalahan disain. "Namun, sampai sekarang, hal itu tidak pernah dilakukan," katanya. Temuan ilmiah lain yang paling aktual adalah hasil penelitian yang dilakukan Agus Taufik, seorang dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam tesis untuk mengambil gelar doktoral menyebutkan, penyebab dari kerusakan jalan justru lebih banyak akibat konstruksi yang tidak memenuhi standar sebesar 44 persen. "Tidak memenuhi standar itu baik kepadatan tanahnya, beton maupun aspalnya," kata Dirjen Perhubungan Darat, Dephub, Iskandar Abubakar mengutip hasil penelitian itu. Penyebab kerusakan lainnya adalah akibat sistem pengendalian air (drainase) sebesar 44 persen, sedangkan akibat kelebihan muatan hanya 12 persen. Penelitiannya dilakukan di 28 provinsi dengan 204 responden yang dicek kembali dengan data yang ada. Sehingga hasilnya akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu buktinya adalah kerusakan jalan di luar Jawa juga terjadi di wilayah Indonesia Timur. "Padahal di jalan-jalan di Indonesia Timur umumnya tidak dilalui kendaraan bermuatan berat, tetapi kerusakan berat juga terjadi," kata Iskandar.(*)

Oleh Oleh Edy Sujatmiko
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008