Jakarta (ANTARA News) - Departemen Agama (Depag) tidak akan mengubah kebijakan mengenai paspor haji, dan tetap mempertahankan penggunaan paspor coklat bagi jemaah Indonesia karena selama ini tidak menemui masalah ketika menunaikan ibadah di Tanah Suci. Penggunaan paspor haji (paspor coklat) itu justru selama ini mempermudah pemberian pelayanan bagi jemaah haji Indonesia di Tanah Suci, utamanya ketika pemeriksaan dokumen di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. "Kalau hal itu sudah berjalan baik, kenapa harus diubah hanya karena kepentingan sekelompok orang," kata Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni di Jakarta, Kamis. Maftuh memberi penjelasan tersebut terkait keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Slamet Riyanto, yang mencabut izin operasional perusahaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus, antara lain Maktour dan Al Amin, karena melakukan pelanggaran. Pelanggaran ini termasuk di antaranya menggunakan paspor hijau (biasa) untuk menunaikan ibadah haji. Penggunaan paspor coklat (haji) diawali sejak pemerintahan Belanda dan kini disempurnakan dalam UU No.17 tahun 1999 dan UU No.9 tahun 1992 tentang keimigrasian. Sejak disempurnakan, pelayanan jemaah haji makin mudah di tanah suci. Berbeda dengan paspor hijau, selain pemeriksaannya di imigrasi Jeddah memakan waktu bisa mencapai 0 jam juga yang bersangkutan harus membayar sejumlah uang sebelum masuk ke kawasan tanah suci. "Jadi, kalau UU itu sudah mengatur demikian dan sudah baik. Lebih baik dipertahankan," kata Maftuh. Sebelumnya Menag mengatakan dalam pemberitaan sebelumnya mencuat seolah orang pergi haji dibenarkan menggunakan paspor hijau. Ia menjelaskan, penggunaan paspor hijau untuk naik haji dapat dibenarkan sejauh yang bersangkutan datang kesana lantaran untuk menunaikan tugas/bekerja atas persetujuan pemerintah setempat. Bisa juga atas undangan pemerintahan kerajaan setempat. "Keleleran" Pengalaman pada musim haji 1428 H/2008 lalu, banyak jemaah haji menggunakan paspor hijau dan ternyata menimbulkan masalah ketika berhadapan dengan petugas imigrasi setempat. Mereka "keleleran"(terlantar, red) di airport sekitar 10 jam dan baru bisa masuk setelah membayar dengan sejumlah uang. Terkait dengan perusahaan penyelenggara haji yang melanggar UU imigrasi tersebut, Menag mengatakan, sikapnya jelas, yaitu tetap pada keputusan bahwa perusahaan tersebut harus ditindak. Kalau manajemen Maktour dan Al Amin mengakui bahwa telah melakukan kesalahan dan berupaya untuk memperbaiki kinerjanya, maka pihaknya berjanji akan memberi pertimbangan agar perusahaan tersebut tahun depan dapat berusaha kembali. Sebetulnya, lanjut dia, Depag sangat bersyukur makin banyak perusahaan penyelenggara haji dapat melayani umat Islam di tanah air untuk menunaikan rukun Islam kelima dengan baik . Hal ini sesuai dengan amanat UU Haji bahwa sekitar 16 ribu dari 210 ribu jemaah Indonesia diselenggarakan oleh masyarakat (swasta). Namun ternyata dalam perjalanannya, penyelenggaraan haji yang dilaksanakan pihak swasta, yang dipresentasikan dalam bentuk perusahaan penyelenggara haji, kerap menemui masalah. Contohnya adalah penyalahgunaan dokumen haji, tak mengindahkan standar mutu pelayanan di tanah suci dan kerap menimbulkan keluhan di antara jemaahnya. "Makin banyak, itu makin bagus. Karena jemaah haji kita dapat tempat yang layak disana," kata Maftuh. Maftuh lalu menjelaskan, ketika ia menjadi Dubes di Arab Saudi , kesan yang muncul adalah bahwa dirinya" dubes "para TKI, sebab di negara itu banyak TKI dan yang diurusi TKI melulu. "Citra Indonesia di negeri itu dikesankan sebagai TKI. Sementara jemaah haji, yang bertahun-tahun tak menimbulkan masalah, ada orang yang mau menggiring citranya sama dengan para TKI," katanya. "Emoh aku," katanya lagi.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008