Brisbane (ANTARA News) - Lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Iran tidak lebih dari sekadar bentuk solidaritas antarnegara "Muslim", mengingat kepentingan politik lebih kental dibandingkan dengan kepentingan ekonomi, kata seorang Indonesianis dari ANU. Pakar ekonomi Indonesia di Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) Universitas Nasional Australia (ANU), Dr. Hal Hill, mengatakan kepada ANTARA yang menghubunginya dari Brisbane, Rabu, ia tidak melihat adanya kepentingan ekonomi yang sangat besar Indonesia dalam kunjungan Presiden Yudhoyono ke Iran. Namun, kunjungan dua hari ke Teheran itu tetap penting dalam persepsi negara-negara Barat karena Indonesia selama ini dipandang sebagai negara Muslim moderat yang bisa memainkan peranan penghubung atau "jembatan" mereka dengan Iran. "Kunjungan Presiden Yudhoyono ke Iran itu lebih sekadar 'political solidarity' (solidaritas politik) antarsesama anggota Dunia Islam. Saya kira 'the economic substance' (substansi ekonominya) tidak begitu banyak," katanya. Kilang di Banten Prof. Hal Hill mengatakan, kalaupun Indonesia dan Iran sepakat membangun kilang minyak mentah di Banten, maka pertanyaan yang perlu diajukan adalah mengapa harus Iran, mengingat banyak negara lain yang juga bisa bekerja sama dengan Indonesia. "Tapi hal ini tentu baik untuk menjaga hubungan bilateral kedua negara (Indonesia dan Iran)," katanya. Bagi negara-negara Barat, hubungan Indonesia yang relatif baik dengan Iran dinilai penting karena di mata Barat, Indonesia adalah representasi dari negara Islam yang moderat, sedangkan Iran cenderung "terisolasi", kata Hal Hill. Sementara itu, terkait dengan lawatannya ke Iran, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ia tidak melihat ada risiko yang harus dihadapi Indonesia sehubungan dengan keputusannya melakukan lawatan ke Iran di saat resolusi 1803 mengenai penguatan sanksi atas program nuklir Iran baru saja disahkan oleh Dewan Keamanan PBB. "Ini bukan era Perang Dingin dimana ada blok-blok tertentu," kata Presiden Yudhoyono kepada wartawan Indonesia dalam sesi jumpa pers di Istana Saad Abad, Teheran, Selasa malam. Kepala Negara mengatakan, saat ini adalah era bebas sehingga Indonesia sebagai negara berdaulat pun dapat dengan bebas menjalankan politik luar negerinya yang bebas aktif. Mengenai hasil kunjungannya ke Teheran, Presiden Yudhoyono menjelaskan pemerintah kedua negara sepakat untuk merealisasikan pembangunan kilang minyak mentah di Banten dengan kapasitas produksi 300 ribu barel per hari. Kerja sama itu melibatkan PT Pertamina (persero), Oil Refining Industries Developing Company (ORIDC) dan Petrofield Refining Company Ltd (Malaysia). "Pembagian sahamnya 40 persen Pertamina, 40 persen Iran dan 20 persen Malaysia," katanya. Presiden Yudhoyono berharap dengan adanya kilang baru yang disebutkan bernilai enam miliar dolar AS itu, pasokan bahan bakar di dalam negeri diharapkan akan meningkat sehingga harganya bisa lebih murah karena pengolahan dilakukan di dalam negeri. Presiden Yudhoyono berada di Iran dari 10 hingga 12 Maret 2008. Selain dengan Presiden Ahmadinejad, Kepala Negara juga bertemu pemimpin spiritual Iran, Ayatollah Ali Khameini. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008