Oleh Gusti N.C. Aryani Teheran (ANTARA News) - Hubungan dwipihak yang dijalin antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Republik Islam Iran telah terjalin selama 50 tahun lebih, tepatnya sejak pada 1950 Pemerintah RI untuk pertama kalinya membuka hubungan diplomatik dengan negeri itu. Hubungan kedua negara yang terkesan "adem-ayem", tanpa gejolak, justru menghangat beberapa tahun terakhir, ketika Iran mengalami dilema besar dengan program nuklirnya. Apalagi, ketika pada awal Maret, RI yang merupakan anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengambil keputusan menentang arus dengan menjadi satu-satunya negara dari 15 negara di DK PBB yang "abstain" atas resolusi 1803 mengenai penambahan sanksi kepada Iran. "Kita berdua adalah saudara, yang akan mengambil manfaat menuju terciptanya perdamaian dunia," kata Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, mengenai sikap Indonesia itu. Presiden Ahmadinejad, dalam sesi jumpa pers bersama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Kepresidenan Iran seusai pertemuan dwipihak, mengatakan bahwa Pemerintah Iran sangat menghargai sikap itu. Dia menyebut keputusan itu sebagai keputusan yang adil dan berdasarkan hukum. Presiden Ahmadinejad juga berharap sikap tegas Pemerintah RI itu dapat menjadi inspirasi bagi negara lain guna menciptakan keadilan di DK PBB. "Insya Allah juga bisa mengubah struktur di DK PBB karena dewan yang sekarang tidak bisa menjamin perdamaian dunia," katanya, dalam bahasa Parsi. Keputusan Pemerintah RI itu, lanjut dia, juga dapat meningkatkan hubungan kedua negara, dan oleh karena itu keduanya terus melakukan konsultasi untuk membahas isu-isu internasional. Sementara itu, Presiden Yudhoyono dalam kesempatan itu menegaskan bahwa RI konsisten mendukung pengembangan nuklir untuk tujuan damai. "Indonesia berpendapat tidak tepat memberikan resolusi baru, ketika IAEA mengatakan ada kemajuan dalam kerjasama dengan Iran," katanya. IAEA (International Atomic Energy Agency) adalah Badan Tenaga Atom Dunia, yang berada di bawah payung PBB dan bermarkas besar di Wina, Austria. Pemerintah Indonesia, kata Presiden Yudhoyono, justru berharap kerjasama antara IAEA dan Iran dapat terus dilanjutkan. "Kasus nuklir Iran jangan dibawa ke tataran politis, dan tetap berada dalam tataran teknis," katanya. Selain masalah resolusi 1803, kedua Kepala Negara juga membahas mengenai penyelesaian sejumlah konflik di Timur Tengah, antara lain Palestina, Lebanon dan Irak. Pemerintah RI menyambut baik upaya Iran untuk menggandeng negara tetangganya, Irak, mengingat penyelesaian konflik Irak memerlukan bantuan negara-negara tetangga Negeri Seribu Satu Malam itu. Sedangkan, Presiden Ahmadinejad menegaskan bahwa kedua negara memiliki kesamaan pandangan mengenai isu Timur Tengah. "Yang ditekankan kedua pihak adalah persatuan, integritas, dan kedaulatan serta menghalangi campur tangan negara-negara asing dalam urusan dalam negeri negara-negara itu," katanya. Kerjasama ekonomi Sekalipun membahas isu-isu global, kedua negara justru sepakat menitikberatkan kerjasama di bidang perekonomian, terutama di sektor energi, yaitu minyak dan gas. "Dengan kunjungan ini saya berharap lebih banyak lagi kerjasama yang dapat dilakukan baik di bidang ekonomi atau yang lainnya," kata Presiden Yudhoyono. Menurut Presiden Yudhoyono, perekonomian kedua negara yang terus berkembang dari waktu ke waktu apabila disatukan akan membawa keuntungan yang lebih besar. Dalam pertemuan dwipihak antara delegasi dua negara yang digelar setelah pertemuan empat mata kedua kepala negara, pemerintah kedua negara menyepakati penandatanganan lima Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU). Kelima MoU itu menyangkut bidang pendidikan, pertanian, kerjasama Kamar Dagang dan Industri (KADIN) RI dengan Iran, kesepakatan kerjasama pembangunan kilang minyak antara PT Pertamina (persero) dengan Oil Refining Industries Developing Company (ORIDC) dan Petrofield Refining Company Ltd (Malaysia) dan kerjasama koperasi. Jumlah penduduk kedua negara yang cukup besar merupakan faktor yang menguntungkan dalam kerjasama itu. Sementara itu, Presiden Ahmadinejad menilai sejarah hubungan dwipihak kedua negara yang panjang hendaknya terus dimaksimalkan mengingat kedua negara memiliki potensi spiritual dan non spiritual yang dapat dimanfaatkan. "Semoga kunjungan Presiden Yudhoyono ke Iran kali ini bisa membuka lembaran baru dalam hubungan kedua negara," kata Presiden Ahmadinejad sambil menoleh ke arah Presiden Yudhoyono yang berdiri di sisi kanannya. Tokoh yang dianggap kontroversial oleh dunia barat itu lalu menceritakan bahwa kunjungannya ke Indonesia pada Mei 2006 sangat bersejarah. "Kunjungan saya sangat sukses dan berhasil, saya bertemu dengan banyak orang. Dan itu bukti hubungan kedua bangsa cukup dekat," katanya. Dalam lima tahun terakhir volume perdagangan kedua negara menunjukkan neraca defisit bagi Iran. Di bidang perdagangan, total nilai perdagangan antara RI-Iran terus meningkat selama lima bulan terakhir. Pada 2007, dari Januari sampai Oktober nilai perdagangan kedua negara mencapai 409.454,5 dolar AS dengan nilai ekspor Indonesia sebesar 347.835,1 dolar AS dan nilai impor sebesar 61.619,4 dolar AS. Sementara itu, media Iran tampak cukup antusias meliput lawatan Presiden Yudhoyono. Hal itu terlihat dari banyaknya jumlah wartawan yang meliput kedatangan dan kunjungan Presiden Yudhoyono itu. Puluhan wartawan lokal tampak berebut mengabadikan momen tersebut sehingga sejumlah petugas tampak kewalahan mengatur mereka. Beberapa poster bergambar Presiden Ahmadinejad dan Presiden Yudhoyono berserta bendera kedua negara juga tampak menghiasi jalan-jalan utama kota Teheran dari bandara internasional Mehrabad hingga Kantor Kepresidenan. Tampaknya, jika ada hikmah dibalik pengesahan tiga resolusi DK PBB --nomor 1737, 1747 dan 1803-- maka jawabannya adalah hal itu mampu lebih mendekatkan hubungan antara Pemerintah RI dan Iran. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008