Jakarta (ANTARA News) - Mendengar kata Afrika, yang terbayang adalah negeri yang dipenuhi padang tandus, kelompok-kelompok masyarakat kesukuan dan konflik bersenjata. Namun, gambaran itu berubah total saat rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjejakkan kaki di Dakar, ibukota Senegal, pada 12 Maret 2008. Gedung-gedung tinggi berwarna putih tampak berbaris rapi mengapit jalan raya lebar nan lengang. Sementara itu di sudut-sudut utama kota Dakar yang terkenal dengan olahraga reli-nya itu tampak barisan pepohonan yang teratur rapi di taman kota, paru-paru yang menyejukkan negeri yang pada musim panas suhunya mencapai lebih 30 derajad celcius. Dakar adalah kota yang modern, penuh dengan bangunan-bangunan kontemporer sekalipun di beberapa tempat masih berdiri megah gedung-gedung bergaya kolonial sisa peninggalan penjajah, sedikit mengingatkan pada Kawasan Kota Tua di Jakarta. Sementara itu deretan hotel-hotel berbintang seperti Modien Prudent, Almadies, Sofitel Tonga, Novotel, dan Savana yang tampak menghiasi Dakar --terutama di sekitar obyek wisata terkenal danau air asin "Lac Rose", danau merah jambu yang merupakan tempat "finish" Reli Dakar-- seakan mempertegas kesan globalisasi Dakar, sebagai bagian dari rantai pariwisata dunia. Senegal yang di kalangan negara-negara Afrika dikenal sebagai negeri "Les Lions de la Tonga" atau "Negeri Singa Nan Ramah", terletak di ujung paling barat benua Afrika dengan kondisi wilayah berupa dataran gurun di sebelah utara dan alam tropis di sebelah selatan. Pada masa lalu, antara abad 17-18, Senegal adalah "transshipment point" kegiatan perdagangan (ekspor) budak, gading gajah dan emas, yang menjadikan negeri ini cukup dikenal oleh masyarakat Eropa. Jadi, sekalipun menggantungkan kehidupan ekonominya pada sektor pertanian, negeri itu merupakan negara yang paling maju dalam hal aktivitas kepariwisataannya di Afrika Barat. Apalagi bila menyinggung tentang Pulau Goree. Masyarakat Senegal mengagungkan Pulau Goree, pulau yang dapat dijangkau dari Dakar dengan perjalanan 20 menit, sekalipun pulau itu menyimpan sejarah kelam negeri itu. Pulau Goree yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia dan terkenal di berbagai belahan dunia. Pada abad 16 hingga pertengahan 19, Goree adalah tempat pengurungan budak. Di pulau itu ada suatu tempat yang disebut sebagai rumah budak "Maison des Esclaves", tempat wanita, anak-anak, dan pria kulit hitam dikurung sebelum dikapalkan ke benua Amerika. Pulau yang dahulu dikuasai secara bergantian oleh Portugis, Belanda, Perancis dan Inggris itu merupakan saksi sejarah yang sarat makna bagi Senegal. Banyak kepala negara, negarawan dan para pejabat tinggi negara lainnya yang berkunjung ke Senegal menyempatkan diri mengunjungi pulau Goree untuk menyaksikan dampak dan kekejaman kaum penjajah waktu itu. Pendudukan oleh sejumlah negara secara berganti-ganti tidak serta merta menghilangkan akar budaya Senegal. Hal itu tercermin dari beragamnya bahasa daerah yang masih digunakan, antara lain Wolof (yang digunakan sebagian besar warga Senegal), Pular, Soninke, Sereer, Mandinka, dan Diola. Perbedaan itu juga tidak mengikis semangat Teranga, keramahan masyarakat Senegal menyambut para tamunya di awal 2008. Tuan Rumah OKI Melihat keriuhan Dakar, tampak jelas jika kota itu telah berkerja sangat keras untuk menjadi tuan rumah KTT ke-11 Organisasi Konferensi Islam (OKI), 13-14 Maret 2008. Suatu persiapan yang panjang, karena Senegal terpaksa menolak menerima tampuk kepemimpinan tertinggi OKI dari Malaysia pada 2006 karena alasan ketidaksiapan infrastruktur guna menyambut 57 kepala negara anggota OKI. Sekalipun, ini adalah kali kedua negara yang kini dipimpin oleh Presiden Abdoulaye Wade itu menjadi tuan rumah OKI, setelah sebelumnya pada 1992. Untuk menjamu para tamunya, pemerintah Senegal telah mempersiapkan 5.167 kamar hotel bagi seluruh delegasi. Tanpa perlu mengganggu kegiatan pariwisata di negeri itu yang selalu ramai pada Desember hingga Juni. Sebuah kapal pesiar kabarnya juga disiapkan untuk menampung para delegasi yang tidak memperoleh hotel. Pertemuan puncak OKI itu digelar di Kompleks Raja Fahd, yang menghadap ke samudra Atlantik, sekitar 10 kilometer dari pusat kota Dakar. Selain memperhatikan kenyamanan para tamunya, pemerintah Senegal juga sangat serius menjamin keamanan delegasi OKI. Sekalipun negeri berpenduduk mayoritas Islam itu merupakan salah satu negara Afrika yang dipandang sudah cukup mapan di bidang pembangunan demokrasi --yang terbilang langka jika ditinjau dari sudut kondisi percaturan politik domestik di kalangan negara-negara Afrika yang sering diwarnai oleh aksi kudeta, perang saudara dan pelaksanaan pemilu yang jauh dari jujur dan adil-- namun sejumlah ancaman tetap membayangi negeri itu, Sejak berdiri sebagai negara merdeka dan berdaulat pada 1960, pemerintah Senegal masih dihadapkan pada persoalan separatisme di wilayah Casamance, sebuah wilayah Senegal bagian selatan yang terletak dekat perbatasan Guinea-Bissau. Meskipun hanya dalam skala intensitas serangan yang relatif kecil, sejauh ini kaum separatis masih terus melakukan aksi perangnya melawan pemerintah pusat walaupun pada tahun 2003 pemimpin MFDC (Mouvement des Forces Ducratiques de Casamance) atau Pergerakan Demokrasi Casamance menyatakan bahwa perang saudara telah berakhir di wilayah Casamance. Namun sesungguhnya, praktek hidup berdemokrasi dan proses peralihan kekuasaan secara damai tanpa gejolak telah menjadi bagian dari budaya yang sudah mulai terpatri secara kuat dalam kehidupan masyarakat di bekas koloni Perancis itu. Asumsi demikian secara politis terlihat secara jelas dalam proses peralihan kekuasaan di negara itu yang sejauh ini senantiasa berlangsung secara damai dari satu rejim ke rejim berikutnya. Sebagai contoh nyata, pada 1980 Presiden pertama Senegal Leopold Sedar Senghor --seorang penyair/sastrawan yang juga menciptakan lagu kebangsaan Senegal, Hymne National du Senegal-- secara sukarela menyerahkan kekuasaannya kepada Abdou Diouf. Demikian pula pada saat Abdou Diouf harus turun dari tampuk kekuasaan setelah kalah dari Abdoulaye Wade dalam pemilihan presiden tahun 2000 juga berlangsung secara damai tanpa gejolak. Sementara itu, hubungan antara Indonesia-Senegal dimulai pada 1982 ketika secara resmi pemerintah Indonesia menempatkan seorang duta besar berkuasa penuh untuk Senegal. Keberadaan KBRI Dakar memiliki arti dan peranan strategis baik secara politis maupun ekonomi dalam kerangka upaya membantu memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia di kawasan Afrika khususnya di sub-kawasan Afrika Barat. Dan hubungan baik yang terjalin antara kedua negara dalam lebih 20 tahun terakhir menjadikan Teranga makin legit untuk delegasi Indonesia dalam pertemuan puncak OKI itu.(*)

Oleh Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008