Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pasar uang Edwin Sinaga mengatakan rupiah melemah hingga di level Rp9.200 per dolar AS pada Kamis dari hari sebelumnya sekitar Rp9.152 per dolar AS akibat pelaku asing menarik dananya di pasar domestik dan memindahkannya ke pasar berkembang (emerging market) lain yang lebih menarik. "Pelaku asing menarik dana karena sedang aktif menempatkan dananya ke pasar komoditi di luar negeri, yang potensi `gain` lebih besar seperti minyak mentah dunia," katanya di Jakarta, Kamis. Selain itu, katanya, pelaku asing memindahkan dananya ke bursa saham yang masih murah, seperti bursa efek Filipina dan Thailand ketimbang Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sudah mengalami jenuh. "Akibatnya bursa Indonesia mengalami tekanan, yang mendorong indeks BEI merosot," ujarnya. Rupiah pada Rabu (13/3) pukul 14.30 pada posisi Rp9.197/9.200 per dolar. Menurut dia, keterpurukan rupiah tidak ada kaitannya dengan penolakan DPR terhadap calon gubernur Bank Indonesia yang telah diuji kepatutan dan kelayakannya. Tekanan itu terjadi, karena faktor eksternal yang sangat besar akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang memicu pelaku membeli dolar AS cukup besar, ucapnya. Pasar Indonesia, lanjut dia, saat ini dinilai kurang menguntungkan, karena itu pelaku mencari pasar komoditi yang memberikan keuntungan lebih besar. Meski demikian, rupiah masih mempunyai peluang untuk kembali menguat, apabila bank sentral AS (The Fed) kembali menurunkan suku bunga Fedfund, katanya. Ia mengatakan, pelepasan rupiah dari asing itu merupakan aksi ambil untung (profit taking). Edwin Sinaga yang juga Direktur PT Finance Corporindo mengatakan, dolar AS di pasar regional melemah, akibat keraguan The Fed memberikan solusi terhadap sistem perbankan AS. Dolar AS terhadap yen turun menjadi 101,10 dan terhadap euro menjadi 1,5517. "Kita lihat apakah The Fed memutuskan untuk menurunkan suku bunganya pada pertemuan 18 Maret nanti," ucapnya. Bergeser Edwin menjelaskan, perdagangan dunia mulai bergeser ke kawasan Asia seperti China, India dan Pakistan, karena perekonomian AS menuju resesi. China yang perekonomiannya tumbuh di atas 10 persen merupakan salah satu negara yang mendukung pertumbuhan ekonomi Asia tumbuh dengan baik, disaat ekonomi AS, Eropa dan Jepang terpuruk, tuturnya. Ekonomi ketiga negara yang tumbuh pesat ini, menurut dia diharapkan akan dapat memberikan sentimen positif terhadap ekonomi Indonesia sehingga faktor fundamental ekonomi akan semakin baik dan mampu mempertahankan rupiah pada level yang aman. "Kami optimis kawasan Asia akan menjadi pasar ekspor yang menarik dalam waktu yang tidak lama, " ucapnya. (*)

Copyright © ANTARA 2008