Jakarta (ANTARA News) - Masih lekat di benak masyarakat ketika Jaksa Agung Andi Ghalib terpaksa menerima pemberian ayam betina --simbol pengecut-- dari sejumlah mahasiswa tahun 1998. Masih terkenang saat dalam rapat kerja tahun 2005 anggota Komisi II DPR Anhar menyebut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sebagai ustad di kampung maling. Kedua contoh peristiwa itu telah mencoreng kewibawaan institusi Kejaksaan Agung beserta jajarannya sebagai lembaga penyelenggara kekuasaan negara di bidang penuntutan hukum dan merupakan habitat para jaksa sebagai pelaksana penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Tragedi pencorengan terhadap kejaksaan kini mengemuka kembali tatkala Urip Tri Gunawan, jaksa dan bekas ketua tim penyelidik kasus BLBI pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik obligor Sjamsul Nursalim yang tertangkap basah oleh penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Minggu (2/3) atas dugaan menerima uang suap senilai 660 ribu dolar AS atau lebih dari Rp6 miliar dari Arthalita Suryani yang disebut-sebut orang dekat Nursalim. Penangkapan terhadap Urip hanya berselang dua hari setelah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman mengumumkan menghentikan penyidikan kasus BLBI di Bank Central Asia dengan obligor Anthoni Salim dan di BDNI karena tak ditemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah ke tindak pidana korupsi, sekaligus membubarkan tim penyelidik kasus itu yang terdiri atas 35 jaksa. Atas kasus Urip itu Jaksa Agung Hendarman Supandji menangis sedih dan merasa amat terpukul. Nilai-nilai adhyaksa atau jaksa yang luhur yang menjadi simbol agung kejaksaan runtuh ke titik nadir. Adhyaksa seakan tak urip (Jawa: hidup). Hendarman mencoba bangkit dengan langsung memerintahkan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Marwani Slamet Rahardjo untuk memeriksa seluruh jajarannya termasuk 35 jaksa, Direktur Penyidikan M Salim, hingga Jampidsus Kemas Yahya Rahman. Yang lebih menyesakkan kasus itu diungkap oleh KPK yang dipimpin Antasari Azhar, mantan Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Penuntutan Umum Kejaksaan Agung yang separuh karirnya dijalani sebagai jaksa. Sebagian publik membacanya sebagai "jeruk makan jeruk". Sambil menunggu hasil dari proses penyidikan terhadap Urip, bisa jadi ia telah lupa atas sumpah/janji sebagai seorang jaksa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang antara lain menyebutkan: "bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya. "bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapa pun juga". "bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian". Hendarman berjanji akan menindak tegas oknum kejaksaan yang terlibat penyuapan. Jika memang terbukti melakukan kesalahan, Jaksa Agung tidak akan memberi ampun kepada semua pihak. "Termasuk pada pejabat yang di atas, di samping maupun di bawah," katanya. Hendarman juga memerintahkan Rahardjo melakukan klarifikasi ke KPK untuk mengungkap kasus tersebut. Ia juga meminta KPK untuk menuntut seberat-beratnya jika ada anak buahnya yang melakukan penyimpangan. "Tuntut sebesar-besarnya jika anak buah saya ada yang melakukan penyimpangan," katanya menegaskan. Sedangkan terhadap sejumlah kalangan yang mendesak agar mundur dari jabatan Jaksa Agung, Hendarman hanya berkomentar, "Apakah dengan mengundurkan diri bisa menyelesaikan masalah?" Setelah sejumlah kalangan mahasiswa dan aktivis LSM yang mendesak agar Hendarman mundur, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar Aulia Rachman, Senin (10/3) kembali menegaskan sikapnya mendesak Jaksa Agung segera melepaskan jabatannya. "Ini sudah menyangkut etika dan moral kita sebagai orang timur yang selalu diagung-agungkan paling tinggi di dunia. Ini juga menyangkut kepercayaan rakyat dan negara yang telah tak mampu dipertanggungjawabkan," katanya kepada Antara. Sebagai bawahan Presiden RI, kata fungsionaris DPP Partai Golkar itu, Jaksa Agung semestinya langsung punya rasa bersalah, tidak cuma kecewa dan sedih. "Kalau cuma kecewa dan sedih, tak ada pertanggungjawabannya. Jantan saja, mundur, karena sebagai bawahannya Presiden RI, telah mencoreng tanggung jawab yang diembannya," kata Aulia. Namun ada pula yang merasa yakin Hendarman dapat membersihkan jaksa-jaksa nakal mulai dari pusat hingga daerah, sebagaimana disampaikan pengacara Ruhut Sitompul. "Saya percaya dia mampu karena dia diangkat menjadi Jaksa Agung oleh Presiden. (Dia) dikenal sangat bersih," kata Ruhut kepada Antara di Padang, Senin (11/3). Ruhut yang juga salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat minta publik mempercayakan Jaksa Agung menindak jajarannya yang nakal. Memburu koruptor Sekadar mengingatkan, Hendarman sebelum diangkat menjadi Jaksa Agung menyampaikan komitmennya untuk memburu para koruptor. "Presiden memberi petunjuk agar saya meneruskan proses penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi," kata Hendarman Supandji seusai dipanggil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kediaman Cikeas, Kabupaten Bogor, Jabar, Sabtu (5/5/07). Jaksa senior kelahiran Klaten, Jateng, 6 Januari 1947 itu, beberapa tahun terakhir ini giat memburu koruptor yang merupakan tugas utamanya, selaras dengan tekad Yudhoyono untuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Ia dipercaya Yudhoyono sebagai Ketua Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi sejak 4 Mei 2005. Maka publik dapat dengan mudah ketika Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ini dipanggil Yudhoyono untuk menjadi Jaksa Agung menggantikan Abdul Rahman Saleh. Sebagian besar perjalanan hidupnya digeluti di Kejaksaan Agung dan suami Dr. Sri Kusumo Amdani, DSA, MSc itu sukses mengungkap praktek koruptor kakap seperti mantan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo. Karirnya di institusi "Adhyaksa" itu mulai moncer ketika pada tahun 1979-1981 menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Pada tahun 1982-1983 ia menjabat Kepala Pusat Operasi Intelijen Kejaksaan Agung, kemudian diperbantukan di Badan Koordinasi Instruksi Presiden untuk masalah narkotika dan diperbantukan di Botsupal Badan Koordinasi Intelejen Negara (sekarang Badan Intelejen Negara) tahun 1984-1985. Hendarman kemudian menjadi Kepala Seksi Penanggulangan Tindak Pidana Umum Intelejen selama lima tahun sejak 1985. Selama lima tahun berikutnya, Hendarman bertugas di luar negeri ketika dipercaya menjadi Atase Kejaksaan di Kedubes RI di Bangkok. Kembali ke tanah air, Hendarman bertugas di Pusdiklat Kejaksaan Agung pada tahun 1995-1996. Lalu, Hendarman menjabat Asisten Perdata dan TUN di Kejaksaan Tinggi Sumsel di Palembang tahun 1996-1997. Hendarman kembali ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk menjadi Staf Khusus Jaksa Agung tahun 1998, lalu menjadi Kepala Biro Keuangan Kejaksaan Agung pada 1998-2000. Antara tahun 2002-2004, Hendarman menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta dan Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), kemudian menjabat Jampidsus sejak 25 April 2004. Ketika awal-awal menjabat Ketua Timtas Tipikor, Hendarman pernah mengajukan pertanyaan "mengejutkan" kepada Presiden Yudhoyono. "Seandainya di dalam menjalankan tugas itu, saya menemukan keterlibatan teman Bapak Presiden, sahabat Bapak, atau pembantu Bapak, apa yang akan Bapak Presiden lakukan?" tanya Hendarman. Presiden pun menjawab, silakan dan tidak akan melakukan intervensi. Namun sebelum Hendarman menemukan kasus yang melibatkan teman, sahabat, atau pembantu Yudhoyono, justru Hendarman yang seakan "terkena batunya" karena stafnya yang tertangkap oleh KPK itu. Tak heran bila kondisinya seperti "memercik air didulang muka sendiri yang basah". Kasus Urip memang amat mengusik nilai "Adhyaksa" Jaksa Agung Hendarman Supandji dan ia mesti membuktikan ke publik mampu membersihkan jajarannya agar korsa kejaksaan benar-benar tegak dan berwibawa. (*)

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Copyright © ANTARA 2008